Apakah anggota Polisi bisa mengeksekusi dengan menembak mati pelaku yang masih diduga terlibat perampokan dan terorisme? Sedangkan ada yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap sampai pada tingkat MA yang mendapat putusan mati, masih banyak yang belum dieksekusi? Dan apa tindakan atau upaya hukum yang seharusnya ditempuh oleh keluarga korban, atas tindakan Kepolisian tersebut? Terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Berdasarkan apa yang Saudara tanyakan, maka ada dua hal berbeda yang menjadi pertanyaan Saudara. Pertama, mengenai apakah anggota Polisi, bisa mengeksekusi dengan menembak mati pelaku yang masih diduga terlibat perampokan dan terorisme? Dan upaya hukum apa yang bisa ditempuh keluarga korban?. Kedua, mengapa masih banyak narapidana yang putusan pidana matinya sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) , tetapi belum dieksekusi mati.
Di dalam sistem negara yang berlandaskan hukum yang dianut oleh Indonesia sebagaimana bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945, maka segala sesuatu tindakan baik warga negara maupun seluruh komponen pelaksana dan penyelenggara negara, harus berlandaskan atas hukum. Eksekusi mati atau menghilangkan hak hidup orang lain/warga negara, dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, hanya bisa dilakukan secara limitatif yaitu dalam rangka melaksanakan sistem dan jenis pemidanaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Pasal 10KUHP :
Pidana terdiri atas :
a.Pidana pokok;
1.Pidana mati;
2.Pidana penjara;
3.Pidana kurungan;
4.Pidana denda;
5.Pidana tutupan.
b.Pidana tambahan
1.Pencabutan hak-hak tertentu;
2.Perampasan barang-barang tertentu,
3.Pengumuman putusan hakim.
Pemidanaan sebagaimana dimaksud, baru bisa dilaksanakan setelah melalui seluruh rangkaian proses peradilan pidana hingga mendapati putusan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan seseorang yang didakwa tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dan kemudian divonis atau dijatuhi hukuman/pidana mati. Artinya, tindakan menghilangkan nyawa orang lain tanpa dilakukan secara limitatif oleh pihak yang berwenang sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang dan tanpa ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, adalah tindakan yang bertentangan dengan hukum.
Berkaitan dengan pertanyaan Pertama Saudara, maka menurut hemat kami polisi tidak bisa dan dilarang mengeksekusi dengan menembak mati pelaku yang diduga melakukan tindak pidana, termasuk tindak pidana perampokan dan terorisme. Eksekusi mati hanya bisa dilakukan oleh regu penembak yang ditentukan undang-undang dan hanya bisa dilaksanakan setelah ada putusan pidana mati yang berkekuatan hukum tetap serta telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.
Menembak mati seseorang terduga pelaku tindak pidana dapat dibenarkan apabila dilakukan dalam rangka menjalankan tugas (ex: penangkapan) dan dilakukan dalam keadaan terpaksa atau pembelaan terpaksa. Pembelaan terpaksa tersebut harus sesuai Pasal 49 KUHP, yaitu pembelaan terpaksa tersebut dilakukan untuk diri sendiri maupun orang lain, kehormataan kesusilaan, atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum. Teknis prosedur pembelaan terpaksa yang dilakukan polisi dalam menjalankan tugas penangkapan diatur lebih lanjut dalam Standar Prosedur Operasi (SOP) Kepolisian, yang tentunya SOP tersebut tidak boleh bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Apabila pihak keluarga merasa bahwa penembakan hingga mati terhadap anggota keluarganya yang dilakukan oleh polisi dalam rangka menjalankan tugas penangkapan tersebut sewenang-wenang dan melanggar hukum, maka pihak keluarga maupun kuasanya dapat menempuh upaya hukum praperadilan yang diajukan kepada ketua pengadilan negeri sebagaimana diatur di dalam Pasal 79 dihubungkan dengan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ("KUHAP"). Praperadilan merupakan proses hukum untuk memeriksa, salah satunya yaitu, memerika sah atau tidaknya penangkapan yang dilakukan oleh polisi tersebut. Dalam praperadilan juga dapat diajukan tuntutan ganti kerugian akibat tindakan polisi yang dianggap dan dapat dibuktikan telah sewenang-wenang dan melanggar hukum (Pasal 81 KUHAP). Atau apabila tidak diajukan dalam praperadilan, tuntutan ganti rugi dapat diajukan oleh ahli warisnya atau pihak ketiga yang berkepentingan melalui gugatan kepada ketua pengadilan negeri sesuai hukum acara perdata. Apabila penembakan yang dilakukan oleh polisi bukan dalam rangka menjalankan tugas berdasarkan undang-undang, maka tindakan polisi tersebut merupakan tindak pidana yang dapat diproses secara pidana.
Di samping itu, pihak keluarga atau kuasanya juga dapat mengajukan upaya hukum berupa pelaporan kepada Divisi Profesi dan Pengamanan Polri (Divpropam Polri) atas tindakan polisi tersebut untuk dapat diproses secara etik .
Sedangkan, terhadap pertanyaan Kedua, maka sebagaimana telah kami sebutkan di atas, bahwa eksekusi mati terhadap terpidana yang putusan pidananya telah berkekuatan hukum tetap adalah dengan cara ditembak mati oleh regu penembak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 2/PNPS/1964. Beberapa faktor atau alasan mengapa terpidana mati belum dieksekusi mati meskipun putusannya sudah berkekuatan hukum tetap adalah antara lain :
1.Bahwa dalam sistem peradilan pidana yang menjalankan putusan pengadilan adalah jaksa penuntut umum. Apabila belum ada keputusan eksekusi dari jaksa penuntut umum, dalam hal ini Kejaksaan Agung, maka eksekusi tersebut belum bisa dilaksanakan;
2.Bahwa terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap, terpidana berhak mengajukan upaya hukum grasi (pengampunan) kepada presiden berupa permohonan perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana terhadap dirinya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU No. 2/2002”). Oleh karenanya, terhadap putusan pidana mati, sebagaimana ketentuan Pasal (3) UU No. 22/2002, pelaksanaan eksekusi mati tidak bisa dilaksanakan atau ditunda sampai ada keputusan dari presiden mengenai permohonan grasi dari terpidana tersebut.