Kelengkapan Hakim dan Keabsahan Putusan MK
PERTANYAAN
Bagaimana akibat hakim tidak lengkap terhadap keabsahan dan kekuatan putusan MK?
Pro
Pusat Data
Koleksi terlengkap dan terkini berisi peraturan putusan pengadilan preseden serta non-preseden
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab tentang berbagai persoalan hukum, mulai dari hukum pidana hingga perdata, gratis!
Berita
Informasi terkini tentang perkembangan hukum di Tanah Air, yang disajikan oleh jurnalis Hukumonline
Jurnal
Koleksi puluhan ribu artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk berbagai penelitian hukum Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
Bagaimana akibat hakim tidak lengkap terhadap keabsahan dan kekuatan putusan MK?
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya.Demikian pendapat Mr. M.P. Stein sebagaimana yang dikutip oleh Maruarar Siahaan dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (hal. 235).
Menjatuhkan putusan adalah salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (“MK”) yang telah diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MK”) yang berbunyi:
“MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
3. memutus pembubaran partai politik
4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”
Dalam Pasal 45 ayat (1) UU MK dikatakan bahwa MK memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945) sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.
MK mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden [Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi] (“UU 8/2011”’). Susunan MK itu sendiri berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU 8/2011 adalah terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi.
Pada dasarnya,MK memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno MK dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, akan tetapi kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi [Pasal 28 ayat (1) UU MK]. Adapun yang dimaksud dengan “keadaan luar biasa” menurut penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU MK adalah meninggal dunia atau terganggu fisik/jiwanya sehingga tidak mampu melaksanakan kewajiban sebagai hakim konstitusi.
Seperti yang pernah dijelaskan dalam artikel Perbedaan Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). (Penjelasan Pasal 10 ayat [1] UU 8/2011)
Jadi, menjawab pertanyaan Anda, dalam menjatuhkan putusan, jumlah hakim MK dalam sidang pleno adalah 9 orang. Apabila kurang dari jumlah itu, selama jumlah hakim yang hadir saat penjatuhan putusan itu berjumlah paling sedikit 7 orang, maka akibat hukum dari putusan yang dijatuhkan tersebut tetaplah memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat.
Hal ini juga sejalan dengan pendapat Maruar yang mengatakan bahwa Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk pengambilan putusan akhir dalam sengketa yang dihadapkan kepadanya harus memenuhi kuorum sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim (hal. 243).
Akibat hukum yang timbul dari putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang juga telah diatur dalam Pasal 58 UU MK yang berbunyi:
“Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Menurut Maruarar, ini berarti bahwa putusan hakim MK yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak boleh berlaku surut. Akibat hukum yang timbul dari putusan itu dihitung sejak putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Oleh karenanya, akibat hukum yang timbul dari berlakunya satu undang-undang sejak diundangkan sampai diucapkannya putusan yang menyatakan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tetap sah dan mengikat (hal. 259).
Demikian halnya putusan yang dijatuhkan saat kuorum hanya 7 (tujuh) orang hakim, putusan tersebut tetap sah dan mengikat sejak putusan diucapkan di dalam persidangan MK.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?