Bagaimana kedudukan mayat dalam hukum? Apakah pelaku kejahatan kepada mayat seperti mutilasi dan memperkosa mayat digolongkan sebagai pembunuhan dan pemerkosaan orang yang tidak berdaya atau digolongkan pengrusakan benda?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Perkosaan mayat sulit dijerat dengan pasal-pasal yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), sebab, tidak ada pasal yang secara tegas mengatur mengenai hal tersebut.
Sama halnya dengan perbuatan perkosaan mayat, KUHP juga tidak mengatur secara spesifik mengenai mutilasi mayat. Namun, dalam praktiknya mutilasi mayat didahului dengan pembunuhan, sehingga pelaku dapat dijerat dengan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana, Pasal 339 KUHP tentang pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh suatu perbuatan pidana; atau Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan biasa.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang pertama kali dipublikasikan pada 5 Januari 2016.
Mutilasi adalah proses atau tindakan memotong-motong (biasanya) tubuh manusia atau hewan, demikian definisi mutilasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
The act of damaging something severely, especially by violently removing a part.
Dalam konteks hukum pidana, pengertian mutilasi tergambar dalam Black Law Dictionary. Berdasarkan kamus hukum ini, mutilasi adalah the act of cutting off or permanently damaging a body part, esp. an essential one.
Istilah "mutilasi" ini kerap dipakai, terutama oleh media massa, untuk menggambarkan tindakan pembunuhan yang disertai kekerasan berupa memotong bagian-bagian tubuh korban, sebagaimana kami sarikan dari Kriminologi (Kejahatan Mutilasi).
Masih bersumber dari artikel yang sama, pelaku mutilasi dalam pembunuhan dapat dijerat dengan:
Dalam 2 putusan Mahkamah Agung di atas yang disertai kekerasan memutilasi bagian-bagian tubuh korban, hakim sama sekali tak menyinggung istilah mutilasi.
Dalam Putusan MA 24/2003, hakim hanya menyatakan menolak permohonan peninjauan kembali terdakwa (hal. 15), dan dengan demikian menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana (hal. 11).
Sedangkan dalam kasus mutilasi yang lebih sadis, yakni perkara pembunuhan yang diputus dalam Putusan MA 108/2007, permohonan peninjauan kembali dinyatakan tidak dapat diterima, sehingga putusan Pengadilan Negeri Sekayu yang menyatakan terdakwa dihukum karena secara bersama-sama melakukan pembunuhan berencana tetap berlaku mengikat (hal. 4). Padahal, dalam dakwaan penuntut umum dijelaskan bahwa para pelaku telah melakukan mutilasi terhadap tubuh korban dan menguburkan korban tanpa bagian kepala (hal. 2).
Lalu, bagaimana hukumnya jika perbuatan mutilasi itu tidak diawali dengan membunuh korban, tapi hanya memotong-motong mayat? Bisakah pelaku dijerat dengan Pasal 406 KUHP tentang merusak barang atau Pasal 362 KUHP tentang pencurian?
Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 150) menjelaskan antara lain bahwa mayat bukanlah suatu harta benda atau barang milik orang. Oleh karena itu, Pasal 362 KUHP tentang pencurian atau Pasal 406 KUHP tentang merusak barang dan sebagainya tidak berlaku dalam hal ini.
Namun, pendapat berbeda diungkapkan oleh Is Heru Permana, Ketua LBH Kosgoro Kabupaten Banyumas, yang menjelaskan bahwa dalam hukum pidana, mayat manusia merupakan milik ahli warisnya, sehingga orang yang mengambil mayat manusia secara melawan hukum berarti telah mengambil mayat itu dari pemiliknya, yaitu ahli warisnya. Sehingga, dapat dikatakan ia telah melakukan pencurian mayat sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP. Jadi, ada kemungkinan pelaku bisa dijerat pasal pencurian.
Kemungkinan lain, jika perbuatan memutilasi mayat tersebut didahului dengan perbuatan mengeluarkan mayat dari kuburan dengan melawan hak (tidak mempunyai hak untuk melakukan tindakan tersebut), pelaku dapat dijerat Pasal 180 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menggali atau mengambil jenazah atau memindahkan atau mengangkut jenazah yang sudah digali atau diambil, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Sebagai informasi tambahan, Mahkamah Agung dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2021”) telah memberikan penyesuaian jumlah besaran pidana denda dalam KUHP, dengan ketentuan besar pidana denda dilipatgandakan menjadi 1.000 kali, kecuali Pasal 303 ayat 1 dan Ayat 2 , 303 bis ayat 1 dan ayat 2 KUHP. Sehingga, pelaku yang terbukti melanggar Pasal 180 KUHP dapat dikenakan denda maksimal Rp4,5 juta.
Dengan demikian, kami menyimpulkan bahwa pengaturan tentang perbuatan mutilasi mayat yang tidak diawali dengan membunuh korban, seperti mencuri mayat kemudian dipotong-potong, tidak diatur jelas di dalam KUHP.
Jerat Hukum Pelaku Perkosaan
Pada dasarnya, KUHP hanya mengatur larangan perkosaan yang dilakukan terhadap orang atau orang yang dalam keadaan tidak berdaya, sebagaimana diatur dalam Pasal 285 dan Pasal 286 KUHP:
Pasal 285 KUHP:
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 286 KUHP:
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Tapi, bagaimana jika yang diperkosa adalah mayat? Apa jerat hukum bagi pelaku?
Jerat Hukum Pelaku Perkosaan Mayat
Mengenai perkosaan mayat, Abdul Aziz Nasihudin yang pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Soedirman Purwokerto, menerangkan bahwa pelaku perkosaan mayat sulit dijerat dengan pasal-pasal yang ada dalam KUHP. Sebab, tidak ada pasal yang secara tegas mengatur mengenai perkosaan terhadap mayat.
Adapun yang diatur dalam KUHP terbatas pada perbuatan menyetubuhi orang yang tidak berdaya. Dalam hal ini, berarti pelaku hanya dapat dijerat jika korban merupakan manusia yang masih hidup, namun dalam kondisi tidak berdaya, bukan mayat yang sudah tidak berdaya. Selain itu, penegak hukum tidak memiliki yurisprudensi yang kuat sebagai acuan untuk menghukum pelaku kasus pemerkosaan mayat.
Sebagai contoh, kita dapat merujuk pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1483/K/Pid/2013. Dalam putusan ini, majelis hakim kasasi mengubah hukuman terdakwa dari penjara seumur hidup menjadi hukuman mati (hal. 24). Salah satu pertimbangannya adalah karena terdakwa telah melakukan tiga kejahatan sekaligus, yaitu pembunuhan berencana, memperkosa mayat dan menjual sepeda motor milik korban (hal. 22). Namun, di dalam amar putusannya, hakim kasasi hanya menghukum terdakwa atas perbuatan pembunuhan berencana (hal. 24).
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.