Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Diskriminasi dan Eksploitasi Anak
Eksploitasi anak menurut Pasal 76I UU 35/2014 berbunyi sebagai berikut:
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap Anak.
Dalam Penjelasan Pasal 68 UU 35/2014 juga didefinisikan mengenai apa yang dimaksud eksploitasi secara ekonomi dan juga eksploitasi secara seksual sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan “dieksploitasi secara ekonomi” adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan Anak yang menjadi korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan Anak oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materiil.
Yang dimaksud dengan “dieksploitasi secara seksual” adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari Anak untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan.
Makna atau pengertian eksploitasi menurut laman
Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang diakses melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia adalah:
pengusahaan; pendayagunaan;
pemanfaatan untuk keuntungan sendiri.
Sedangkan, diskriminasi anak diatur dalam Pasal 13 Ayat (1) UU Perlindungan Anak yang berbunyi:
Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
diskriminasi;
eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
penelantaran;
kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
ketidakadilan;
dan perlakuan salah lainnya.
Makna atau pengertian diskriminasi dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf a UU Perlindungan Anak, misalnya perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.
Jika kami melihat dan memahami maksud pertanyaan Anda serta kaitannya dengan diskriminasi dan eksploitasi anak, maka perkara yang Anda alami tidak berkaitan dengan diskriminasi dan eksploitasi anak, tetapi yang lebih tepat adalah penelantaran anak. Adapun tindakan penelantaran anak sebagaimana dimuat dalam Penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Perlindungan Anak, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya. Dalam hal ini, sebagaimana yang Anda jelaskan dalam pertanyaan, ibu tersebut sering meninggalkan anak dan tidak memenuhi kebutuhan finansial anak, sehingga dapat dikategorikan sebagai tindakan penelantaran anak.
Jika Anda dapat membuktikan (memiliki bukti permulaan yang cukup) bahwa perbuatan ibu terhadap anaknya telah melanggar ketentuan dalam UU Pelindungan Anak beserta perubahannya, maka Anda dapat mengambil langkah hukum dengan membuat Laporan Polisi di Kantor Kepolisian setempat atau melakukan pengaduan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (“KPAI”).
Hak Asuh Anak Jatuh ke Tangan Ibu
Berdasarkan pertanyaan yang Anda ajukan, Anda menyebutkan bahwa “…..beberapa bulan kemudian terjadi perceraian. Namun setelah ibu nya pulang, anak diserahkan ke ibu….” Sehingga kami asumsikan sudah ada Putusan Perceraian dari Pengadilan yang dimana hak asuh atas anak tersebut sudah diberikan kepada ibunya.
...Bila terjadi perceraian, pemeliharaan anak yang masih dibawah umur seyogyanya diserahkan pada orang terdekat dan akrab dengan si anak yaitu ibu...
Dengan diberikannya hak asuh anak terhadap ibunya, maka ibulah yang berhak atas pemeliharaan anak sehari-hari sampai anak mencapai usia 12 (dua belas tahun) ia bebas memilih untuk diasuh oleh ayah atau ibunya.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
Referensi: