KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Jika Anak Menolak Bersaksi karena Dipengaruhi

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Jika Anak Menolak Bersaksi karena Dipengaruhi

Jika Anak Menolak Bersaksi karena Dipengaruhi
Rizky P.P. Karo Karo, S.H., M.H.LKBH Fakultas Hukum UPH
LKBH Fakultas Hukum UPH
Bacaan 10 Menit
Jika Anak Menolak Bersaksi karena Dipengaruhi

PERTANYAAN

Saya adalah orang tua yang memiliki satu orang putra berumur 15 tahun. Seminggu yang lalu anak saya dipukul di bagian mata oleh anak berumur 16 tahun. Kami sudah melaporkan ke polisi, namun penyidikan tidak berlanjut karena tidak ada yang mau menjadi saksi. Orang tua saksi melarang anak mereka untuk menjadi saksi atas penganiayaan yang dialami anak saya karena takut dikucilkan. Orang tua saksi telah diinstruksikan oleh seseorang untuk tidak memperbolehkan anak mereka menjadi saksi. Pertanyaan saya, apakah kasus terhenti karena tidak ada saksi, sedangkan saksi sudah dipengaruhi? Apakah ada hukuman untuk orang yang mempengaruhi orang tua saksi untuk melarang anaknya untuk bersaksi? Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Pengertian Saksi menurut KUHAP
    Sebelum menjawab pertanyaan Anda, pertama-tama kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan saksi. Menurut Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”):
     
    Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
     
    Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:

    Alat bukti yang sah ialah:
    1. keterangan saksi;
    2. keterangan ahli;
    3. surat;
    4. petunjuk;
    5. keterangan terdakwa.
     
    Namun perlu Anda ketahui bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 telah menyatakan bahwa ketentuan Pasal 1 angka 26 dan Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP di atas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang pengertian saksi tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
     
    Lebih lanjut, menurut Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 286), keterangan saksi adalah suatu hal yang tidak luput dari perkara pidana. Hampir semua perkara pidana memerlukan alat bukti keterangan saksi sebagai pembuktian. Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.
     
    Saksi Menolak Memberikan Keterangan
    Menjadi saksi adalah kewajiban. Hal ini sebagaimana tergambar dalam Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa:
     
    Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.
     
    Oleh karena itu, terdapat sanksi pidana berupa hukuman penjara dan/atau denda terhadap saksi yang tidak memenuhi kewajiban untuk hadir dalam persidangan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 224 dan Pasal 522 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) jo. Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda KUHP (“PERMA 2/2012”), yang masing-masing berbunyi:
     
    Pasal 224 KUHP
    Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:
    1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
    2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
     
    Pasal 522 KUHP
    Barang siapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
     
    Pasal 3 PERMA 2/2012
    Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali.
     
    Menurut Yahya Harahap dalam buku yang telah disinggung sebelumnya (hal. 698), setiap saksi dituntut untuk memberikan keterangan yang sebenarnya dan tiada lain dari pada yang sebenarnya sesuai dengan lafal sumpah atau janji yang diucapkannya. Saksi tidak perlu dan tidak dituntut untuk menerangkan sesuatu yang berupa cerita orang lain kepadanya maupun berupa perkiraan, pendapat atau dugaaan. Demikian juga terhadap hal-hal yang bersifat persangkaan, tidak perlu dikemukakan di sidang pengadilan.
     
    Masih dalam buku yang sama (hal. 288), diuraikan bahwa terdapat asas dalam hukum acara pidana yakni unus testis nullus testis, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP yaitu keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Namun dalam hal terdakwa mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya, keterangan satu orang saksi sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, karena di samping keterangan saksi tunggal itu, telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian dan the degree of evidence yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa. Oleh karena itu, kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja, maka kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain.
     
    Pengertian Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana
    Mengenai pertanyaan Anda, kami sayangkan Anda tidak memberikan informasi mengenai umur anak yang akan dijadikan saksi tersebut. Hal ini mengingat umur saksi berpengaruh terhadap perlakuan atas keterangan yang ia berikan di dalam persidangan. Pasal 171 KUHAP mengatur bahwa yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah adalah anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin, serta orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
     
    Pertama-tama kita perlu memahami kriteria anak sebagai saksi itu sendiri. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU 11/2012”) menjelaskan bahwa anak yang menjadi saksi tindak pidana (“anak saksi”) adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.[1]
     
    Dalam hal pemeriksaan saksi dalam sistem peradilan pidana anak, anak saksi wajib didampingi orang tua sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UU 11/2012 yang berbunyi:
     
    Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Korban atau Anak Saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi, atau Pekerja Sosial.
     
    Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa memberikan keterangan sebagai saksi merupakan suatu kewajiban. Uniknya dalam Pasal 19 UU 11/2012 diatur bahwa:
     
    1. Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik.
    2. Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi.
     
    Oleh karena itu, orang tua maupun anak seharusnya tidak perlu takut untuk merasa dikucilkan karena identitas anak tidak akan disebar luaskan dalam media. Selain itu juga dalam Pasal 56 UU 11/2012 dijelaskan bahwa:
     
    Setelah Hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, Anak dipanggil masuk beserta orang tua/Wali, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan.
     
    Persidangan yang tertutup untuk umum artinya selain pihak yang berperkara atau dalam kapasitas sebagai kuasa hukum, tidak dapat masuk ke dalam ruang persidangan. Ketentuan beracara dalam Hukum Acara Pidana berlaku juga dalam acara peradilan pidana anak, kecuali ditentukan lain dalam UU 11/2012.[2]
     
    Jangan Takut Menjadi Anak Saksi
    Menurut hemat kami, menjadi saksi atau memberikan keterangan saksi adalah kewajiban hukum, termasuk bagi anak. Oleh karenanya jika ada panggilan sebagai saksi, yang bersangkutan wajib memberikan keterangan yang sebenar-benarnya, tanpa tekanan/intervensi dari pihak manapun, termasuk orang tua. Apabila yang bersangkutan (calon saksi) tidak memenuhi kewajiban tanpa alasan yang dapat diterima (misalnya menjalankan tugas Negara, sakit, dan sebagainya) maka dapat diancam dengan sanksi pidana menurut Pasal 224 jo. Pasal 522 KUHP yang telah disinggung sebelumnya.
     
    Soal adakah hukuman untuk orang yang mempengaruhi orang tua saksi untuk melarang anaknya untuk bersaksi, hal tersebut tidak diatur dalam KUHAP. Meski demikian, jika terdapat para pihak yang merasa takut untuk memberikan keterangan saksi, maka para pihak tersebut dapat meminta perlindungan dan pendampingan juga kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (“LPSK”). Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 13/2006”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 31/2014”), LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam UU 13/2006 dan perubahannya.[3]
     
    Namun, berdasarkan pertanyaan Anda dan prinsip unus testis nullus testis, jika anak tersebut tetap tidak mau menjadi saksi, maka alat bukti lain dapat digunakan dalam dugaan perkara pemukulan/penganiayaan yang dialami putra Anda. Misalnya, Anda dapat melakukan permohonan kepada penyidik untuk melakukan visum oleh dokter yang berwenang, sehingga hasilnya (visum et repertum) dapat dijadikan tambahan alat bukti. Anda juga dapat meminta orang lain untuk menjadi saksi, misalnya guru atau orang yang mengetahui pertama kali pemukulan tersebut.
     
    Baca juga: Kekuatan Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti
     
    Kasus tidak akan terhenti hanya karena anak yang menjadi sanksi tindak pidana tersebut tidak memberikan keterangannya. Penyidikan dapat berhenti hanya jika Pasal 109 ayat (2) KUHAP terpenuhi. Pasal tersebut berbunyi:
     
    Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum.
     
    Baca juga: SP3
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
     
    Putusan:
    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010.
     
    Referensi:
    Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
     

    [1] Pasal 1 angka 5 UU 11/2012
    [2] Pasal 16 UU 11/2012
    [3] Pasal 1 angka 5 UU 31/2014

    Tags

    hukumonline
    anak saksi

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Baca Tips Ini Sebelum Menggunakan Karya Cipta Milik Umum

    28 Feb 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!