Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Tanggung Jawab Perusahaan Angkutan Laut
Pasal 1 angka 29 PP 20/2010 menyebutkan bahwa:
Perusahaan Angkutan Laut Nasional adalah perusahaan angkutan laut berbadan hukum Indonesia yang melakukan kegiatan angkutan laut di dalam wilayah perairan Indonesia dan/atau dari dan ke pelabuhan di luar negeri.
Sebagai pengangkut, perusahaan shipping bertanggung jawab terhadap penumpang dan barang yang dibawanya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40 UU Pelayaran yang berbunyi:
Perusahaan angkutan di perairan bertangggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya.
Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati.
Kemudian, Pasal 41 ayat (1) UU Pelayaran jo. Pasal 181 ayat (2) PP 20/2010 pada intinya menyatakan bahwa tanggung jawab tersebut dapat ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa:
kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;
keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; atau
kerugian pihak ketiga
Berdasarkan ketentuan di atas, perusahaan angkutan laut bertanggung jawab terhadap musnah, hilang, dan rusaknya barang yang diangkutnya.
Batas tanggung jawab tersebut didasarkan pada kesepakatan bersama antara pengguna dan penyedia jasa sesuai dengan perjanjian angkutan atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
[1] serta
terbatas terhadap jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan[2] atau yang lebih dikenal dengan “
bill of lading”.
Dengan demikian, perusahaan angkutan laut harus berhati-hati terhadap barang yang diangkutnya. Untuk mengalihkan risiko terhadap gugatan ganti kerugian oleh pengirim, perusahaan angkutan laut mengasuransikan barang yang diangkut. Asuransi terhadap barang angkutan ini sifatnya diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 ayat (3) UU Pelayaran jo. Pasal 181 ayat (3) PP 20/2010.
Perasuransian Barang Muatan
Biaya asuransi tentunya dibebankan kepada pengirim atau pengguna jasa. Perjanjian asuransi yang dibuat adalah antara perusahaan asuransi sebagai penanggung dengan pengirim/pengguna jasa sebagai tertanggung, walaupun dapat dimungkinkan pula perjanjian asuransi dilaksanakan oleh perusahaan asuransi dengan perusahaan angkutan laut untuk kepentingan pengirim/pengguna jasa.
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian, di mana penanggung mengikat diri terhadap tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan kepadanya ganti rugi karena suatu kehilangan, kerusakan, atau tidak mendapat keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dapat diderita karena suatu peristiwa yang tidak pasti.
Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.”
Khusus untuk asuransi angkutan laut, tanggung jawab perusahaan asuransi atau penanggung ditegaskan dalam Pasal 637 KUHD yang berbunyi:
Adalah yang harus dipikul oleh si penanggung yaitu segala kerugian dan kerusakan yang menimpa kepada barang-barang yang dipertanggungkan karena angin taufan, hujan lebat, pecahnya kapal, terdamparnya kapal, menggulingnya kapal, penubrukan, karena kapalnya dipaksa mengganti haluan atau perjalanannya, karena pembuangan barang-barang ke laut; karena kebakaran, paksaan, banjir perampasan, bajak laut atau perampok, penahanan atas perintah dari pihak atasan, pernyataan perang, tindakan-tindakan pembalasan; segala kerusakan yang disebabkan karena kelalaian, kealpaan atau kecurangan nakhoda atau anak buahnya, atau pada umumnya karena segala malapetaka yang datang dari luar, yang bagaimanapun juga, kecuali apabila oleh ketentuan undang-undang atau oleh sesuatu janji di dalam polisnya, si penanggung dibebaskan dari pemikiran sesuatu dari berbagai bahaya tadi.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pada dasarnya pihak penanggung atau perusahaan asuransi harus menanggung segala kerugian atas kerusakan barang yang diangkut, termasuk juga yang disebabkan oleh kelalaian awak kapal, kecuali diperjanjian lain dalam polis.
Apabila dalam polis asuransi secara tegas dinyatakan jika karena kelalaian, reefer tidak dihubungkan ke listrik, asuransi all risk tidak berlaku, maka pihak asuransi tidak berkewajiban untuk mengganti kerugian tersebut dan pihak tertanggung tidak dapat menuntut klaim penggantian kepada perusahaan asuransi.
Ganti Kerugian oleh Perusahaan Angkutan Laut
Dalam situasi demikian, pihak perusahaan angkutan laut tetap harus bertanggung jawab untuk membayar ganti kerugian yang diderita oleh pengirim/pengguna jasa berdasarkan ketentuan Pasal 40 dan Pasal 41 UU Pelayaran jo. Pasal 181 PP 20/2010 sebagaimana telah diuraikan di atas.
Pihak pengirim/pengguna jasa dapat mengajukan gugatan ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1365
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang berbunyi:
Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.
Pasal 1366 KUH Perdata juga menegaskan bahwa setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas perbuatannya, namun juga karena adanya suatu kelalaian atau kesembronoannya.
Pada kasus Anda, pihak pengirim/pengguna jasa mengalami kerugian, karena barang yang dikirim rusak. Kerusakan barang tersebut dikarenakan oleh kelalaian pihak perusahaan anggutan laut, karena tidak menghubungkan container reefer dengan listrik di pelabuhan tujuan.
Dengan demikian, pihak perusahaan angkutan laut harus mengganti kerugian yang diderita oleh pihak pengirim/pengguna jasa untuk barang yang jenis dan jumlahnya dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian angkutan.
[3] Besaran nilai kerugian yang digugat dapat ditentukan berdasarkan nilai asuransi terhadap barang tersebut sebagai tolok ukur.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
[1] Penjelasan Pasal 41 (1) huruf b UU Pelayaran
[2] Pasal 180 ayat (2) PP 20/2010
[3] Pasal 40 ayat (2) UU Pelayaran