Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Problematika Ketentuan PHK karena Kesalahan Berat

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Problematika Ketentuan PHK karena Kesalahan Berat

Problematika Ketentuan PHK karena Kesalahan Berat
Rusti Margareth Sibuea, S.H.Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Bacaan 10 Menit
Problematika Ketentuan PHK karena Kesalahan Berat

PERTANYAAN

Pekerja kami ada yang melakukan kesalahan berat (menurut PKB). Berdasarkan PKB, apabila pekerja melakukan kesalahan berat (Berat III), perusahaan dapat mem-PHK langsung. Pertanyaannya: 1. Apakah tindakan perusahaan sudah sesuai berdasarkan UU 13/2003, Putusan MK 12/2003 terkait judicial review Pasal 158 UU 13/2003, serta SEMA 3/2015? 2. Apakah PHK baru dapat dilakukan pemberi kerja setelah ada putusan PHI? 3. Apakah selama belum ada putusan PHI pemberi kerja wajib memberikan gaji terhadap pekerja yang bermasalah?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Jika perusahaan secara khusus mengatur daftar “kesalahan berat” di luar ketentuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang notabene telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi dan terdapat pekerja yang melakukan pelanggaran tersebut, maka pengusaha seharusnya mengeluarkan surat peringatan pertama sekaligus terakhir, bukan pemutusan hubungan kerja (“PHK”). Jika dalam masa berlakunya (tenggang waktu 6 bulan) surat peringatan pekerja tetap melakukan kesalahan, barulah ia dapat di-PHK.
     
    Selanjutnya, sengketa PHK yang dilakukan bukan atas alasan-alasan dalam Pasal 154 UU Ketenagakerjaan sendiri dapat diselesaikan melalui PHI. Namun, jalur litigasi ini hanya dapat ditempuh setelah perundingan bipartit, mediasi, dan/atau konsiliasi tidak menghasilkan jalan keluar.
     
    Penjelasan selengkapnya dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Problematika Ketentuan PHK Karena Kesalahan Berat
    Tindakan pekerja yang tergolong sebagai “kesalahan berat” awalnya telah diatur secara limitatif dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Jika diamati, seluruh kesalahan berat di dalamnya merupakan tindak pidana.
     
    Akibatnya, dengan memerhatikan asas presumption of innocence, pemutusan hubungan kerja (“PHK”) karena kesalahan berat menimbulkan perdebatan; Bolehkah pekerja di-PHK sebelum adanya putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap?
     
    Ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan sendiri telah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 (“Putusan MK 12/2003”). Ketentuan ini dinilai telah melanggar prinsip pembuktian terutama asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan kesamaan di depan hukum sebagaimana dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”). Seharusnya, bersalah tidaknya seseorang diputuskan lewat pengadilan dengan hukum pembuktian yang sudah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (hal. 105).
     
    Namun demikian, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (“SEMA 3/2015”).
     
    SEMA 3/2015 memberikan kaidah bahwa dalam hal terjadi PHK terhadap pekerja/buruh karena alasan melakukan kesalahan berat eks Pasal 158 UU Ketenagakerjaan pasca Putusan MK 12/2003, maka PHK dapat dilakukan tanpa harus menunggu putusan pidana berkekuatan hukum tetap (BHT).[1]
     
    Meskipun Surat Edaran Mahkamah Agung merupakan aturan internal Mahkamah Agung dan tidak secara eksplisit berada dalam hierarki peraturan perundang-undangan, namun dalam praktiknya, hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan hubungan industrial (“PHI”) berpedoman pada SEMA 3/2015 dan cenderung mengabaikan Putusan MK 12/2003.
     
    Dengan demikian, jika pekerja melakukan kesalahan berat yang diatur dalam Pasal 158 UU Ketenagakerjaan, maka pengusaha dapat melakukan PHK tanpa harus menunggu sidang pidananya terlebih dahulu.
     
    Kesalahan Berat di Luar Pasal 158 UU Ketenagakerjaan
    Telah dijelaskan di atas bahwa perbuatan yang tergolong sebagai “kesalahan berat” diatur secara limitatif dalam UU Ketenagakerjaan.
     
    Meski demikian, setiap perusahaan diberikan hak untuk mengatur golongan atau bentuk pelanggaran dalam perusahaan (di luar isi Pasal 158 UU Ketenagakerjaan) yang dapat dimuat dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pasal 161 UU Ketenagakerjaan selengkapnya berbunyi:
     
    1. Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
    2. Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
    3. Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
     
    Sehingga nantinya ketika pekerja melakukan pelanggaran tersebut, pengusaha dapat melakukan PHK setelah kepada pekerja yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berurutan.
     
    Namun, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama juga dapat memuat pelanggaran tertentu yang dapat diberi peringatan pertama sekaligus peringatan terakhir. Apabila pekerja melakukan pelanggaran perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dalam tenggang waktu masa berlakunya peringatan pertama sekaligus terakhir dimaksud, pengusaha dapat melakukan PHK. [2]
     
    Berdasarkan pertanyaan Anda, jikapun perusahaan secara khusus mengatur daftar “kesalahan berat” di luar ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan dan terdapat pekerja yang melakukan pelanggaran tersebut, maka pengusaha seharusnya mengeluarkan surat peringatan pertama sekaligus terakhir, bukan PHK. Jika dalam masa berlakunya surat peringatan pekerja tetap melakukan kesalahan, barulah ia dapat di-PHK.
     
    Hanya saja di dalam praktik, Hakim pernah membenarkan PHK yang dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja yang melakukan pelanggaran berat yang diatur di peraturan perusahaan. Hal ini dapat kita temui dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 684K/Pdt.Sus-PHI/2015 antara Robert Imanuel sebagai Penggugat/Pemohon Kasasi melawan PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Cinde Wilis Jember sebagai Tergugat/Termohon Kasasi. Robert di-PHK karena telah meminta uang kepada nasabah yang mengajukan kredit. Perbuatan tersebut dilarang dalam peraturan perusahaan dan dikenakan sanksi pemberhentian. Majelis Hakim dalam putusannya menyatakan PHK yang dilakukan Tergugat kepada Penggugat adalah sah. Penggugat hanya berhak atas uang pisah.
     
    PHK yang Tidak Memerlukan Intervensi PHI
    UU Ketenagakerjaan sendiri mengimbau agar setiap pengusaha dan pekerja mengusahakan dengan segala upaya agar tidak terjadi PHK. Jika PHK tidak dapat dihindari, maka PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Apabila perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.[3]
     
    Namun, penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak diperlukan dalam hal:[4]
    1. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
    2. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
    3. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
    4. pekerja/buruh meninggal dunia.
     
    Dengan demikian, sengketa PHK yang dilakukan bukan atas alasan-alasan tersebut harus diselesaikan melalui PHI. Namun, jalur litigasi ini hanya dapat ditempuh setelah perundingan bipartit, mediasi, dan/atau konsiliasi tidak menghasilkan jalan keluar.
     
    Kewajiban Membayar Upah
    Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dengan tegas menyatakan bahwa upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. Artinya, jika antara pengusaha dan pekerja terjadi kesepakatan mengenai PHK secara musyawarah dan mufakat, maka sejak PHK dilakukan perusahaan tidak lagi diwajibkan membayar upah pekerja.
     
    Lain halnya jika antara pengusaha dan pekerja tidak tercapai kesepakatan mengenai PHK dan perselisihan PHK didaftarkan melalui PHI. Pengusaha masih diwajibkan untuk membayar upah kepada pekerja yang disebut dengan “upah proses”.
     
    Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 155 UU Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa:
     
    1. Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.
    2. Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
    3. Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
     
    Namun Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 37/PUU-IX/2011 (“Putusan MK 37/2011”) menyatakan bahwa frasa “belum ditetapkan” dalam pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “belum berkekuatan hukum tetap”.
     
    Adapun SEMA 3/2015 menguraikan bahwa pasca Putusan MK 37/2011 terkait dengan upah proses, maka isi amar putusan adalah “MENGHUKUM PENGUSAHA MEMBAYAR UPAH PROSES SELAMA 6 BULAN”. Kelebihan waktu dalam proses PHI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bukan lagi menjadi tanggung jawab para pihak.[5]
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
     
    Putusan:
    1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003;
     

    [1] Lampiran SEMA 3/2015, hal. 3-4
    [2] Penjelasan Pasal 161 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
    [3] Pasal 151 UU Ketenagakerjaan
    [4] Pasal 154 UU Ketenagakerjaan
    [5] Lampiran SEMA 3/2015, hal. 4

    Tags

    sp3
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Ini Cara Mengurus Akta Nikah yang Terlambat

    30 Sep 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!