Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Menyiarkan Rekaman Orang yang Kena Sweeping Polisi Tanpa Izinnya

Share
copy-paste Share Icon
Teknologi

Menyiarkan Rekaman Orang yang Kena Sweeping Polisi Tanpa Izinnya

Menyiarkan Rekaman Orang yang Kena <i>Sweeping</i> Polisi Tanpa Izinnya
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Menyiarkan Rekaman Orang yang Kena <i>Sweeping</i> Polisi Tanpa Izinnya

PERTANYAAN

Apa dasar hukum jika sebuah stasiun televisi yang bekerja sama dengan aparat pemerintah melakukan sweeping dan merekam dengan alasan menjaga ketertiban umum? Tetapi tidak ada penahanan dan justru melarang orang yang diperiksa untuk membaca surat tugasnya. Apa hukumnya pula jika rekaman tersebut ditayangkan tanpa izin orang yang mereka rekam?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Tindakan sweeping yang Anda maksud merupakan aksi penertiban atas perilaku tidak tertib di masyarakat oleh Polri dan Satuan Polisi Pamong Praja. Setiap orang yang menjadi objek sweeping kepolisian berhak untuk menanyakan surat perintah tugas yang diberikan kepada anggota Polri yang bersangkutan.

    Selain itu, setiap lembaga penyiaran, termasuk siaran di televisi, wajib menaati Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) 2012, yang salah satunya, mewajibkan lembaga penyiaran memperoleh persetujuan dari narasumber sebelum materi program siaran disiarkan di televisi.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang pertama kali dipublikasikan pada 9 Januari 2020.

    KLINIK TERKAIT

    Langkah Hukum Jika Merasa Terganggu Atas Pengawasan CCTV

    Langkah Hukum Jika Merasa Terganggu Atas Pengawasan CCTV

     

    Tindakan Sweeping

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Sebagaimana dijelaskan dalam artikel Bolehkah Ormas Melakukan Sweeping di Tempat-tempat Umum?, sweeping diasumsikan sebagai aksi penertiban atas perilaku tidak tertib di masyarakat oleh Polri dan Satuan Polisi Pamong Praja (“Satpol PP”).

    Akan tetapi, dikarenakan Anda tidak menyatakan secara jelas aparat pemerintah yang Anda maksud, guna menyederhanakan jawaban, kami akan menerangkan salah satunya saja, yakni pihak kepolisian.

    Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU 2/2002”), tugas pokok kepolisian adalah:

    1. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
    2. menegakkan hukum; dan
    3. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

    Apa saja tugas seorang polisi? Dalam melaksanakan tugas pokoknya, kepolisian bertugas:[1]

    1. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
    2. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
    3. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
    4. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
    5. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
    6. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
    7. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
    8. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
    9. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
    10. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
    11. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
    12. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

    Kemudian apa kewenangan polisi? Penahanan sebagaimana yang Anda maksud merupakan salah satu kewenangan kepolisian yang di antaranya:[2]

    1. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
    2. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
    3. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
    4. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
    5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
    6. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
    7. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
    8. mengadakan penghentian penyidikan;
    9. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
    10. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
    11. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
    12. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

     

    Surat Perintah Tugas Kepolisian

    Mengenai surat tugas, sepanjang penelusuran kami, menurut Pasal 1 angka 27 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“KEPP”), dikenal dengan surat perintah tugas yang digunakan sebagai dasar perintah dari pejabat berwenang untuk melaksanakan tugas-tugas kepolisian.

    Setiap anggota Polri dilarang melaksanakan tugas tanpa perintah kedinasan dari pejabat yang berwenang, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.[3]

    Sebagai contoh, dalam artikel Bolehkah Meminta Polisi Menunjukkan Surat Tugas Razia?, dijelaskan bahwa dalam pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan secara berkala atau insidental atas dasar operasi kepolisian dan/atau penanggulangan kejahatan wajib dilengkapi dengan surat perintah tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

    Oleh karena itu, menjawab pertanyaan Anda, setiap orang yang menjadi objek sweeping kepolisian berhak untuk menanyakan surat perintah tugas yang diberikan kepada anggota Polri yang bersangkutan.

     

    Ketentuan Penyiaran

    Merujuk pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (“UU Penyiaran”), penyiaran, salah satunya di televisi, diarahkan untuk:

    1. menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa;
    3. meningkatkan kualitas sumber daya manusia;
    4. menjaga dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa;
    5. meningkatkan kesadaran ketaatan hukum dan disiplin nasional;
    6. menyalurkan pendapat umum serta mendorong peran aktif masyarakat dalam pembangunan nasional dan daerah serta melestarikan lingkungan hidup;
    7. mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran;
    8. mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan, dan memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi;
    9. memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab;
    10. memajukan kebudayaan nasional.

    Sementara itu, isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.[4]

    Isi siaran dilarang:[5]

    1. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
    2. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau
    3. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan;
    4. memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

    Setiap orang yang melanggar ketentuan penyiaran televisi sebagaimana di atas diancam pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp10 miliar.[6]

    Perlu Anda ketahui, pimpinan badan hukum lembaga penyiaran bertanggung jawab secara umum atas penyelenggaraan penyiaran dan wajib menunjuk penanggung jawab atas masing-masing program televisi.[7]

    Menyambung pertanyaan Anda, sepanjang isi siaran tidak melanggar ketentuan dan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran ketaatan hukum dan disiplin nasional, maka isi siaran tersebut tidaklah melanggar hukum.

     

    Penyiaran Tanpa Persetujuan Narasumber

    Di sisi lain, lembaga penyiaran juga wajib menaati keputusan Komisi Penyiaran Indonesia (“KPI”) yang berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) 2012 (“P3 dan SPS”).[8]

    Dalam Pasal 28 ayat (1) P3 dan SPS, diterangkan bahwa tidak boleh menyiarkan materi program siaran langsung maupun tidak langsung yang diproduksi tanpa persetujuan terlebih dahulu dan konfirmasi narasumber, diambil dengan menggunakan kamera dan/atau mikrofon tersembunyi, atau merupakan hasil rekaman wawancara di telepon, kecuali materi siaran yang memiliki nilai kepentingan publik yang tinggi.

    Selain itu, pencantuman identitas narasumber dalam program siaran wajib mendapat persetujuan narasumber sebelum siaran. Lembaga penyiaran juga wajib menghormati hak narasumber yang tidak ingin diketahui identitasnya jika keterangan atau informasi yang disiarkan dipastikan dapat mengancam keselamatan jiwa narasumber atau keluarganya, dengan mengubah nama, suara, dan/atau menutupi wajah narasumber.[9]

    Dengan demikian, pihak yang bertanggung jawab atas penayangan program siaran televisi tersebut harus tetap meminta persetujuan dari narasumber yang bersangkutan sebelum disiarkan di televisi serta memenuhi ketentuan dalam P3 dan SPS yang berlaku.

     

    Sanksi Administratif

    Jika terjadi pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (1) dan (3) P3 dan SPS, program siaran dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis pertama dan/atau kedua oleh KPI dengan jangka waktu paling sedikit selama 7 hari kalender.[10]

    Jika program siaran melanggar Pasal 28 ayat (4) P3 dan SPS, maka dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu dan lembaga penyiaran dilarang menyajikan program siaran dengan format sejenis pada waktu siar yang sama atau waktu yang lain.[11]

    Jika lembaga penyiaran tidak memperhatikan teguran tertulis maupun sanksi penghentian sementara mata acara bahkan setelah diberikan peringatan tertulis, maka KPI akan memberikan sanksi lain berupa:[12]

    1. teguran tertulis;
    2. penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu;
    3. pembatasan durasi dan waktu siaran;
    4. denda administratif;
    5. pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu;
    6. tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran; atau
    7. pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
    3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran;
    4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
    5. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
    6. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

     

    Referensi:

    Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) 2012, diakses pada 27 Desember 2019 pukul 13.38 WIB.


    [1] Pasal 14 ayat (1) UU 2/2002

    [2] Pasal 16 ayat (1) UU 2/2002

    [3] Pasal 13 ayat (1) huruf g KEPP

    [4] Pasal 36 ayat (1) UU Penyiaran

    [5] Pasal 36 ayat (5) dan (6) UU Penyiaran

    [6] Pasal 72 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 57 ayat (2) UU Penyiaran

    [7] Pasal 54 UU Penyiaran

    [8] Pasal 51 ayat (2) UU Penyiaran

    [9] Pasal 28 ayat (3) dan (4) P3 dan SPS

    [10] Pasal 79 ayat (1) dan (2) P3 dan SPS

    [11] Pasal 80 ayat (1) dan (2) P3 dan SPS

    [12] Pasal 79 ayat (3), Pasal 80 ayat (3), dan Pasal 75 ayat (2) P3 dan SPS

    Tags

    rekaman
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Akun Pay Later Anda Di-Hack? Lakukan Langkah Ini

    19 Jul 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!