KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bolehkah Negara Merekayasa Perkawinan Warganya?

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Bolehkah Negara Merekayasa Perkawinan Warganya?

Bolehkah Negara Merekayasa Perkawinan Warganya?
Adv. Saur Oloan Hamonangan Situngkir, SH., MH., CLA., CIL., CPL.Kongres Advokat Indonesia
Kongres Advokat Indonesia
Bacaan 10 Menit
Bolehkah Negara Merekayasa Perkawinan Warganya?

PERTANYAAN

Apakah rekayasa suatu perkawinan oleh satu pihak, misalnya pihak wanita yang didukung oleh suatu korporasi atau golongan, sah secara hukum alias legal, walaupun pihak pria tidak bersalah atau dalam status praduga tak bersalah? Sedangkan tujuan rekayasanya adalah untuk maksud jahat. Apa hal tersebut bisa dibuktikan oleh hukum dan bagaimana caranya? Jika negara yang melakukannya maka itu adalah hal yang wajar mengingat negara punya maksud dan tujuan tertentu dan itupun masih mempertimbangkan HAM. Tapi jika itu korporasi atau suatu golongan, apakah itu legal dan beretika?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Karena didahului oleh adanya akad atau perjanjian, perkawinan juga merupakan suatu perikatan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk hidup berumah tangga. Di dalamnya termasuk pengaturan hak dan kewajiban untuk saling tolong menolong dari kedua belah pihak.
     
    Perkawinan yang dipaksakan melanggar syarat subjektif suatu perjanjian, serta merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Akibatnya, perkawinan tersebut “dapat dibatalkan” atau “dimintakan batal” oleh salah satu pihak yang berkepentingan.
     
    Penjelasan selengkapnya dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Perkawinan sebagai Perikatan
    Karena Anda tidak menjelaskan maksud jahat dan latar belakang terjadinya perkawinan tersebut secara rinci, kami akan menekankan jawaban kami dari aspek hukum perdata, dimana ada cacat kesepakatan dalam ikatan perkawinan tersebut karena mengandung unsur paksaan.
     
    Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”):
     
    Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa.
     
    Karena didahului oleh adanya akad atau perjanjian, perkawinan juga merupakan suatu perikatan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk hidup berumah tangga. Di dalamnya termasuk pengaturan hak dan kewajiban untuk saling tolong menolong dari kedua belah pihak.
     
    Sebagai sebuah perjanjian, secara umum perkawinan harus memenuhi syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”):
     
    Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
    1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
    2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
    3. suatu pokok persoalan tertentu;
    4. suatu sebab yang tidak terlarang.
     
    Unsur kesepakatan juga ditekankan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan, di mana perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
     
    Terkait syarat kesepakatan, KUH Perdata menegaskan bahwa tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.[1]
     
    Selanjutnya, Pasal 1323 KUH Perdata mengatur bahwa:
     
    Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu.
     
    Paksaan juga menjadikan suatu persetujuan batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan, melainkan juga bila dilakukan terhadap suami, istri, atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah.[2]
     
    Pembatalan suatu persetujuan berdasarkan paksaan tidak dapat dituntut lagi, bila setelah paksaan berhenti persetujuan itu dibenarkan, baik secara tegas maupun secara diam-diam, atau jika telah dibiarkan lewat waktu yang ditetapkan oleh undang-undang untuk dapat dipulihkan seluruhnya ke keadaan sebelumnya.[3]
     
    Baca juga: Batalkah Perkawinan Jika Ada Kesalahan dalam Akta Nikah?
     
    Jika Dipaksa Kawin
    Berdasarkan uraian tersebut, secara hukum perdata, apabila ada paksaan dalam perkawinan tersebut, maka unsur kesepakatan telah dilanggar dalam kasus ini.
     
    Dengan kata lain, perkawinan ini melanggar syarat subjektif suatu perjanjian. Akibatnya, perjanjian tersebut “dapat dibatalkan” atau “dimintakan batal” oleh salah satu pihak yang berkepentingan.
     
    Hal ini juga dimungkinkan dalam Pasal 22 UU Perkawinan, yang berbunyi:
     
    Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
     
    ‘Dapat’ yang dimaksud diartikan bahwa perkawinan bisa batal atau bisa tidak batal, jika menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.[4]
     
    Pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh:[5]
    1. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;
    2. suami atau istri;
    3. pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
    4. pejabat yang ditunjuk dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
     
    Selain itu, seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.[6]
     
    Baca juga: Tentang Pembatalan Nikah dan Perceraian
     
    Perspektif Hak Asasi Manusia
    Selain itu, ada perlunya kami luruskan persepsi bahwa negara dapat memaksa perkawinan sepasang mempelai.
     
    Pada dasarnya, tidak ada seorang pun yang dapat memaksakan perkawinan seseorang, bahkan negara sekalipun. Selain bertentangan dengan uraian sebelumnya, hal ini juga melanggar Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang secara jelas menyatakan:
     
    1. Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
    2. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
    Ketentuan ini merupakan jaminan negara atas warga negaranya, yang mana tidak boleh ada unsur paksaan dalam sebuah perkawinan. Negara justru wajib hadir dalam memberikan hak kepada setiap orang untuk bebas menentukan calon suami dan calon istri yang diinginkannya.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
     

    [1] Pasal 1321 KUH Perdata
    [2] Pasal 1325 KUH Perdata
    [3] Pasal 1327 KUH Perdata
    [4] Penjelasan Pasal 22 UU Perkawinan
    [5] Pasal 23 UU Perkawinan
    [6] Pasal 27 ayat (1) UU Perkawinan

    Tags

    ham
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Persyaratan Pemberhentian Direksi dan Komisaris PT PMA

    17 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!