Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Wewenang Penerbitan Sertifikat Halal, di Tangan Siapa?

Share
copy-paste Share Icon
Perlindungan Konsumen

Wewenang Penerbitan Sertifikat Halal, di Tangan Siapa?

Wewenang Penerbitan Sertifikat Halal, di Tangan Siapa?
Renata Christha Auli, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Wewenang Penerbitan Sertifikat Halal, di Tangan Siapa?

PERTANYAAN

Bagaimana caranya agar saya dapat mengajukan label halal saat ini? Apakah kepada MUI atau Kementerian Agama?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pada intinya, sertifikat halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang diterbitkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (“BPJPH”) berdasarkan fatwa halal tertulis atau penetapan kehalalan produk oleh Majelis Ulama Indonesia (“MUI”), MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, atau Komite Fatwa Produk Halal.

    Lantas, siapa yang berwenang mengeluarkan sertifikat halal terhadap suatu produk? Bagaimana proses pengajuan sertifikasi dan label halal?

    Penjelasan selengkapnya dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Iffah Karimah, S.H., M.Sc. dari Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKIHI FHUI), pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 27 Mei 2020.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Pengertian Produk Halal, Label Halal, dan Jaminan Produk Halal

    Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan produk halal, yaitu produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam.[1] Sedangkan label halal adalah tanda kehalalan suatu produk.[2] Lebih lanjut, Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu produk yang dibuktikan dengan sertifikat halal.[3]

    Kewenangan Penerbitan Sertifikat Halal

    Pada dasarnya, sertifikat halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang diterbitkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (“BPJPH”) berdasarkan fatwa halal tertulis atau penetapan kehalalan produk oleh Majelis Ulama Indonesia (“MUI”), MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, atau Komite Fatwa Produk Halal.[4]

    Sebagai informasi, sebelum adanya UU 33/2014 yang diperbaharui oleh Perppu Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui UU 6/2023, terdapat beberapa lembaga yang menjadi pemangku kepentingan terkait masalah kehalalan produk, yaitu:

    1. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia sebagai pemberi fatwa halal dan pihak yang mengeluarkan sertifikat halal;
    2. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (“LPPOM”) MUI sebagai peneliti kehalalan produk dari aspek ilmu pengetahuan;
    3. Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagai pemberi izin label halal;
    4. Kementerian Agama sebagai pihak yang membuat kebijakan, melakukan sosialisasi, dan edukasi ke masyarakat; dan
    5. Kementerian terkait lainnya.

    Berdasarkan Pasal 48 angka 3 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 5 ayat (1) UU 33/2014, pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH. Penyelenggaraan JPH tersebut dilaksanakan oleh Menteri Agama (“Menteri”).[5] Kemudian, untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH, maka dibentuk BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.[6] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa BPJPH inilah yang menggantikan peran MUI sebagai pemegang kewenangan sertifikasi halal. Adapun peran LPPOM MUI yang dahulu bertugas memeriksa dan/atau menguji kehalalan produk digantikan oleh Lembaga Pemeriksa Halal (“LPH”).[7]

    Dalam penyelenggaraan jaminan produk halal, BPJPH memiliki kewenangan antara lain:[8]

    1. merumuskan dan menetapkan kebijakan jaminan produk halal;
    2. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria jaminan produk halal;
    3. menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk;
    4. melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri;
    5. melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal;
    6. melakukan akreditasi terhadap LPH;
    7. melakukan registrasi auditor halal;
    8. melakukan pengawasan terhadap jaminan produk halal;
    9. melakukan pembinaan auditor halal; dan
    10. melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan jaminan produk halal.

    Meskipun kedudukan MUI digantikan oleh BPJPH, namun MUI tetap memiliki peran dalam proses sertifikasi halal. Sebab, BPJH dapat bekerjasama dengan MUI, MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, atau Majelis Permusyawaratan Aceh dalam melaksanakan wewenangnya,[9] dalam hal penetapan kehalalan produk.[10]

    Lantas, bagaimana proses pengajuan sertifikasi dan label halal? Berikut adalah ulasannya.

    Proses Pengajuan Sertifikasi dan Label Halal

    Sebagaimana telah dijelaskan di atas, label halal adalah tanda kehalalan suatu produk yang didapatkan berdasarkan proses sertifikasi halal. Produk yang telah mendapatkan sertifikat halal wajib mencantumkan label halal.

    Proses sertifikasi halal oleh BPJPH sendiri dapat dirangkum sebagai berikut:

    1. Pelaku usaha mengajukan permohonan sertifikat halal kepada BPJPH yang dilengkapi dengan dokumen data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar bahan produk yang digunakan, dan pengolahan produk.[11]
    2. BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk berdasarkan permohonan pelaku usaha. Penetapan LPH dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan dinyatakan lengkap.[12]
    3. Auditor halal LPH melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk paling lama 15 (lima belas) hari kerja, dan pemeriksaan produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi. Jika terdapat bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium. Lalu, dalam hal pemeriksaan produk membutuhkan tambahan waktu pemeriksanaan, LPH dapat mengajukan perpanjang waktu ke BPJPH.[13]
    4. Hasil pemeriksaan dan pengujian kehalalan produk oleh LPH diserahkan ke MUI, MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, atau Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dengan tembusan yang dikirimkan kepada BPJPH, melalui sistem elektronik terintegrasi.[14]
    5. Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI, MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, atau Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dalam Sidang Fatwa Halal.[15]
    6. Sidang Fatwa Halal tersebut memutuskan kehalalan produk paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak MUI, MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, atau Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk.[16]

    Adapun sertifikat halal berlaku sejak diterbitkan oleh BPJPH dan tetap berlaku sepanjang tidak terdapat perubahan komposisi bahan dan/atau Proses Produk Halal (“PPH”). Dalam hal ada perubahan komposisi bahan dan/atau PPH, pelaku usaha wajib memperbaharui sertifikat halal.[17]

    Baca juga: Begini Aturan Sertifikasi Halal Produk Makanan

    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.


    [1] Pasal 48 angka 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (“UU 33/2014”).

    [2] Pasal 48 angka 1 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 11 UU 33/2014.

    [3] Pasal 48 angka 1 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 5 UU 33/2014.

    [4] Pasal 48 angka 1 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 10 UU 33/2014.

    [5] Pasal 48 angka 3 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 5 ayat (2) UU 33/2014.

    [6] Pasal 48 angka 3 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 5 ayat (3) UU 33/2014.

    [7] Pasal 48 angka 1 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 8 UU 33/2014.

    [8] Pasal 6 UU 33/2014.

    [9] Pasal 48 angka 4 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 7 UU 33/2014.

    [10] Pasal 48 angka 5 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 10 ayat (1) UU 33/2014.

    [11] Pasal 48 angka 15 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 29 ayat (1) dan (2) UU 33/2014.

    [12] Pasal 48 angka 16 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 30 ayat (1) dan (2) UU 33/2014.

    [13] Pasal 48 angka 17 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 31 ayat (1), (2), dan (3) UU 33/2014.

    [14] Pasal 48 angka 18 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 32 UU 33/2014.

    [15] Pasal 48 angka 19 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 33 ayat (1) dan (2) UU 33/2014.

    [16] Pasal 48 angka 19 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 33 ayat (3) UU 33/2014.

    [17] Pasal 48 angka 25 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 42 ayat (1) dan (2) UU 33/2014.

    Tags

    jaminan produk halal
    label halal

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Balik Nama Sertifikat Tanah karena Jual Beli

    24 Jun 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!