Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Apakah Badan Usaha Merupakan Subjek Zakat?

Share
copy-paste Share Icon
Bisnis

Apakah Badan Usaha Merupakan Subjek Zakat?

Apakah Badan Usaha Merupakan Subjek Zakat?
Vidya Nuchaliza, S.H.Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKIHI FHUI)
Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKIHI FHUI)
Bacaan 10 Menit
Apakah Badan Usaha Merupakan Subjek Zakat?

PERTANYAAN

Apakah zakat juga berlaku untuk badan hukum? Misalnya seperti bank syariah, apakah juga wajib mengeluarkan zakat dari keuntungannya? Sudah adakah regulasi yang mengaturnya?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Dalam menyikapi persoalan zakat perusahaan/badan usaha, pendapat para ulama di Indonesia terbagi menjadi dua. Pendapat pertama menyatakan bahwa perusahaan tidak wajib menunaikan zakat, sedangkan pendapat kedua menyamakan perusahaan dengan individu/orang, sehingga juga dikenai kewajiban zakat.
     
    Lalu, bagaimana menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku? Apakah zakat juga dikenakan terhadap badan usaha/perusahaan?
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Dalam menyikapi persoalan zakat perusahaan/badan usaha, pendapat para ulama di Indonesia terbagi menjadi dua. Pendapat pertama menyatakan bahwa perusahaan tidak wajib menunaikan zakat karena zakat hanya diwajibkan kepada seorang muslim yang sudah mukallaf, merdeka dan memiliki harta sesuai haul dan nisab. Sedangkan menurut pendapat kedua, perusahaan bisa memiliki arti syakhsiyyah I’tibariyyah (beban yang disetarakan dengan individu/orang), sehingga juga dikenai kewajiban zakat.
     
    Namun, Majelis Ulama Indonesia dalam hal ini sependapat dengan pendapat kedua, sebagaimana yang dinyatakan dalam Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Se-Indonesia III Tahun 2009, bahwa perusahaan yang telah memenuhi syarat wajib zakat, wajib mengeluarkan zakat, baik sebagai syakhsiyyah I’tibariyyah ataupun sebagai wakil dari pemegang saham (hal. 134).
     
    Sejalan dengan keputusan tersebut, dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (“UU Pengelolaan Zakat”) disebutkan bahwa zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
     
    Selanjutnya, dalam Pasal 1 angka 5 UU Pengelolaan Zakat disebutkan juga bahwa muzaki adalah seorang muslim atau badan usaha yang berkewajiban menunaikan zakat.
     
    Lebih lanjut, dalam Pasal 4 ayat (3) UU Pengelolaan Zakat diatur bahwa zakat mal merupakan harta yang dimiliki oleh muzaki perseorangan atau badan usaha. Lalu, Pasal 4 ayat (2) UU Pengelolaan Zakat menjelaskan lingkup dari zakat mal, yaitu sebagai berikut:
     
              Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. emas, perak dan logam mulia lainnya;
    2. uang dan surat berharga lainnya;
    3. perniagaan;
    4. pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
    5. peternakan dan perikanan;
    6. pertambangan;
    7. perindustrian;
    8. pendapatan dan jasa;
    9. rikaz.
     
    Selain dalam UU Pengelolaan Zakat, penegasan ketentuan zakat untuk badan usaha juga diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (“KHES”). Dalam Pasal 668 angka 2 dan 7 KHES disebutkan bahwa yang dimaksud dengan:
    1. zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau lembaga yang dimiliki oleh muslim untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya; dan
    2. muzaki adalah orang atau lembaga yang dimiliki oleh muslim yang berkewajiban menunaikan zakat.
     
    Adapun ketentuan syarat wajib zakat diatur dalam Pasal 669 KHES yang menyatakan bahwa zakat wajib bagi setiap orang atau badan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
    1. Muslim.
    2. Mencapai nishab dengan kepemilikian sempurna walaupun sifat harta itu berubah disela-sela haul.
    3. Memenuhi syarat satu haul bagi harta-harta tertentu.
    4. Harta itu tidak bergantung pada penggunaan seseorang.
    5. Harta itu tidak terikat oleh utang sehingga menghilangkan nishab.
    6. Harta bersama dipersamakan dengan harta perseorangan dalam hal mencapai nishab.
    Lebih lanjut, dalam Berita Resmi Pusat Kajian Strategis Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) No. 1/ON/01/2019 (“Berita Resmi BAZNAS”) tanggal 20 Januari 2019, dijelaskan bahwa harta yang diinvestasikan dalam syirkah/perusahaan dengan mangandalkan usaha manusia (pekerjaan) yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan pertumbuhan merupakan salah satu harta wajib zakat (hal. 2). Dalam pandangan fikih, perusahaan diibaratkan seperti seseorang yang sedang mencari profit atau mengembangkan harta (syakhsiyah I’tibariyah) (hal. 4).
     
    Dalam hal pemilik modal (pemegang saham) perusahaan terdiri dari muslim dan nonmuslim, maka zakat perusahaan wajib dikeluarkan hanya kepada kepemilikan saham yang muslim saja, jika sudah mencapai syarat haul dan nishab (hal. 2).
     
    Sebagai contoh, kami mengutip ketentuan zakat bagi perusahan di bidang perdagangan dan jasa, yaitu sebagai berikut:[1]
    1. Zakatnya dihitung pertahun, yaitu ketika perusahaan sudah berjalan satu tahun penuh (haul);
    2. Tidak wajib zakat pada aset tetap untuk penunjang usaha, baik yang bersifat materi maupun non materi;
    3. Objek zakat mencakup harta pada aset lancar seperti barang-barang, piutang, wesel tagih, investasi, dan uang tunai di bank;
    4. Penilaian terhadap harta zakat adalah berdasarkan nilai pasar yang sedang berlaku;
    5. Liabilitas yang harus segera dibayarkan dalam jangka pendek wajib dikurangi dari harta zakat;
    6. Nishab zakat setara dengan 85 gram emas murni;
    7. Persentase atau kadar zakat adalah 2,5% berdasarkan penanggalan hijriah, dan 2,575% berdasarkan penanggalan masehi;
    8. Beban besaran zakat setelah dihitung nilainya dibagikan kepada masing-masing pemilik saham sesuai dengan jumlah saham mereka pada perusahaan dan/atau pada perusahaan rekanan.
     
    Sehingga, menjawab pertanyaan Anda, berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembayaran zakat juga berlaku untuk badan hukum yang merupakan badan usaha, mengingat badan usaha termasuk subyek hukum yang wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan ketentuan syariat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, termasuk juga bank syariah yang merupakan badan usaha berbentuk perseroan yang memperoleh pendapatan atau keuntungan atas jasa yang diberikan.
     
    Namun, perlu diperhatikan bahwa terdapat perbedaan istilah yang digunakan dalam UU Pengelolaan Zakat dan KHES, di mana UU Pengelolaan Zakat menggunakan istilah badan usaha, sedangkan dalam KHES istilah yang dipakai adalah lembaga yang dimiliki oleh muslim dan badan.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Terima kasih.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat;
     
    Referensi:
    1. Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Se-Indonesia III Tahun 2009, diakses pada 4 Februari 2021 pukul 11.02 WIB;
     

    [1] Berita Resmi BAZNAS (hal.5)

    Tags

    agama

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Perhatikan Ini Sebelum Tanda Tangan Kontrak Kerja

    20 Mar 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!