KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Ahli Waris Minta Tanah Wakaf Kembali, Bisakah?

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Ahli Waris Minta Tanah Wakaf Kembali, Bisakah?

Ahli Waris Minta Tanah Wakaf Kembali, Bisakah?
Dr. Nur Jihad, S.H., M.H. PSHI Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
PSHI Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Bacaan 10 Menit
Ahli Waris Minta Tanah Wakaf Kembali, Bisakah?

PERTANYAAN

Ayah saya memiliki sebidang tanah yang sudah diwakafkan untuk pemakaman umum. Namun, setelah beliau meninggal ada anaknya (ahli waris) yang ingin mengambil tanah wakaf itu kembali. Adakah upaya hukum yang bisa dilakukan ahli waris untuk mengupayakan kembalinya tanah yang sudah diwakafkan itu?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Wakaf telah lama hidup di dalam masyarakat Indonesia, dan telah menjadi bagian dari hukum positif dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

    Seseorang yang berwakaf (wakif), maka ia telah melepaskan hak kepemilikannya atas harta benda yang diwakafkan itu. Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan, sehingga dalam kasus Anda, ahli waris wakif tidak bisa atau tidak berhak mengambil tanah wakaf itu kembali (membatalkan wakaf).

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Pengaturan Wakaf

    KLINIK TERKAIT

    Ketentuan Wakaf Kekayaan Intelektual

    Ketentuan Wakaf Kekayaan Intelektual

    Wakaf berasal dari kata (bahasa Arab) waqf, yang memiliki arti: berdiri, berhenti.[1] Secara terminologis, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seorang nadzir (penjaga wakaf) atau kepada suatu badan pengelola, dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan kepada hal-hal yang sesuai dengan ajaran syari’at Islam.[2]

    Perlu ditegaskan, benda yang diwakafkan bukan lagi hak milik yang mewakafkan, dan bukan pula hak milik tempat menyerahkan, tetapi ia menjadi hak milik Allah (hak umum). Sehingga dengan adanya ikrar wakaf, maka terlepaslah sudah hubungan hukum kepemilikan benda tersebut dari pemilik awalnya.[3]

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup di dalam masyarakat Indonesia, dan kini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (“UU Wakaf”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan perubahannya.

    Sebelumnya ketentuan wakaf juga telah tercantum dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) tepatnya pada Buku III Hukum Perwakafan mulai dari Pasal 215 sampai dengan Pasal 229.

    Pasal 1 angka 1 UU Wakaf mendefinisikan wakaf sebagai:

    Perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

    Definisi yang sama tentang wakaf juga tertulis dalam Penjelasan Pasal 49 huruf e Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU 3/2006”).

    Wakaf dapat dilakukan tidak hanya terbatas pada harta benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, namu wakif dapat pula mewakafkan harta benda yang bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud meliputi uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lainnya. [4]

    Wakaf bisa diperuntukan bagi sarana dan kegiatan ibadah, pendidikan serta kesehatan. Kemudian bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa. Bisa juga diperuntukkan bagi kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, maupun kemajuan kesejahteraan umum lainnya.[5]

    Seseorang yang berwakaf berarti telah melepaskan hak kepemilikan, sebab wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan.[6] Harta benda yang sudah diwakafkan dilarang:[7]

    1. dijadikan jaminan;
    2. disita;
    3. dihibahkan;
    4. dijual;
    5. diwariskan;
    6. ditukar; atau
    7. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

    Jika seseorang dengan sengaja melanggar ketentuan di atas diancam pidana dengan Pasal 67 ayat (1) UU Wakaf yang berbunyi:

    Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta.

    Sehingga menjawab pertanyaan Anda, maka sangat jelas dan tegas bahwa ahli waris tidak bisa atau tidak berhak untuk mengambil tanah wakaf itu kembali (membatalkan wakaf). Hal ini tentu berlaku ketika wakaf telah sah dilakukan dan memenuhi unsur dan persyaratan.

    Lain halnya jika ada pelanggaran hukum, misalnya persyaratan wakif seperti dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan pemilik sah harta benda wakaf ternyata tidak dipenuhi.

    Selain itu, misalnya ikrar wakaf ternyata di kemudian hari diketahui dilakukan karena adanya ancaman/paksaan, atau harta benda yang telah diwakafkan ternyata milik orang lain atau telah dialihkan kepemilikannya sebelum ikrar wakaf, dan sebagainya.

     

    Penyelesaian Sengketa

    Jika terjadi pelanggaran di atas dan timbul perselisihan, maka upaya penyelesaiannya pertama-tama ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.[8] Jika sengketa tidak berhasil diselesaikan dengan musyawarah, bisa ditempuh melalui mediasi, arbitrase atau pengadilan.[9]

    Mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa. Jika mediasi tidak berhasil, sengketa dapat dibawa ke badan arbitrase syariah. Dalam hal badan arbitrase syariah tidak berhasil menyelesaikan, sengketa itu dapat dibawa ke pengadilan agama dan/atau mahkamah syar’iyah.[10]

    Adapun dalam KHI, penyelesaian perselisihan terkait benda wakaf dan nadzir diajukan ke Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[11]

    Kewenangan atau kompetensi Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa wakaf sesungguhnya sudah ditegaskan oleh Pasal 49 UU 3/2006:

    Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

    1. perkawinan;
    2. waris;
    3. wasiat;
    4. hibah;
    5. wakaf;
    6. zakat;
    7. infaq;
    8. shadaqah; dan
    9. ekonomi syari’ah.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama;
    2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf;
    3. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf;
    4. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

     

    Referensi:

    1. Agus Triyanta dan Mukmin Zakie. Problematika Pengelolaan Tanah Wakaf: Konsep Klasik dan Keterbatasan Inovasi Pemanfaatannya di Indonesia. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 21 Oktober 2014;
    2. A.W. Munawir. Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1994;
    3. Muhammad Daud Ali. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI-Press, 1988.

    [1] A.W. Munawir. Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1994, hal. 1576

    [2] Muhammad Daud Ali. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI-Press, 1988, hal. 80

    [3] Agus Triyanta dan Mukmin Zakie. Problematika Pengelolaan Tanah Wakaf: Konsep Klasik dan Keterbatasan Inovasi Pemanfaatannya di Indonesia. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 21 Oktober 2014, hal. 587

    [4] Pasal 16 ayat (1) dan (3) UU Wakaf

    [5] Pasal 22 UU Wakaf

    [6] Pasal 3 UU Wakaf

    [7] Pasal 40 UU Wakaf

    [8] Pasal 62 ayat (1) UU Wakaf

    [9] Pasal 62 ayat (2) UU Wakaf

    [10] Penjelasan Pasal 62 ayat (2) UU Wakaf

    [11] Pasal 226 KHI

    Tags

    warisan
    ahli waris

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Menghitung Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana

    3 Agu 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!