Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Pengecat Warna Cabai Rawit, Ini Jerat Hukumnya

Share
copy-paste Share Icon
Perlindungan Konsumen

Pengecat Warna Cabai Rawit, Ini Jerat Hukumnya

Pengecat Warna Cabai Rawit, Ini Jerat Hukumnya
Erizka Permatasari, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Pengecat Warna Cabai Rawit, Ini Jerat Hukumnya

PERTANYAAN

Baru-baru ini, viral pemberitaan cabai rawit hijau yang dijual di masyarakat diwarnai cat agar berwarna merah di Banyuwangi. Adakah pasal yang dapat dikenakan bagi pelaku? Mengingat cabai tersebut sangat berbahaya jika dikonsumsi oleh masyarakat umum.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Penambahan warna pada pangan memang diperbolehkan menurut hukum sepanjang memenuhi standar keamanan pangan.

    Untuk menentukan apakah pewarna berbahaya atau tidak, perlu dikaji lebih lanjut jenis bahan pewarna serta ambang batas maksimal yang digunakan.

    Jika pewarna yang digunakan ternyata melanggar standar keamanan pangan, sanksi apa yang bisa menjerat pelaku usaha?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Pasal 64 Angka 1 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (“UU Pangan”) mendefinisikan pangan sebagai:

    KLINIK TERKAIT

    Ketentuan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal

    Ketentuan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal

    Segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

    Sedangkan jika merujuk Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU 8/1999”) mendefinisikan barang sebagai:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.

    Berdasarkan kedua definisi tersebut, cabai rawit termasuk ke dalam kategori pangan menurut UU Pangan dan barang menurut UU 8/1999, sehingga untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan merujuk pada UU Pangan dan UU Konsumen.

     

    Keamanan Pangan

    Salah satu asas penyelenggaraan pangan adalah keamanan pangan[1], yakni kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.[2]

    Penyelenggaraan keamanan pangan dijamin oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah di setiap rantai pangan secara terpadu.[3] Dalam hal ini, pemerintah pusat menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria keamanan pangan yang wajib diterapkan oleh pelaku usaha.[4]

     

    Standar Keamanan Pangan

    Setiap orang yang memproduksi dan memperdagangkan pangan wajib memenuhi standar keamanan dan mutu pangan.[5] Standar keamanan pangan meliputi:[6]

    1. Sanitasi pangan, yakni upaya menciptakan dan mempertahankan kondisi pangan yang sehat dan higienis yang bebas dari bahaya cemaran biologis, kimia, dan benda lain.[7]

    Sanitasi pangan mencakup kegiatan atau proses produksi, penyimpangan, pengangkutan, dan/atau peredaran pangan wajib:[8]

    1. memenuhi persyaratan sanitasi, minimal berupa:
    1. penghindaran penggunaan bahan yang dapat mengancam keamanan pangan di sepanjang rantai pangan;
    2. pemenuhan persyaratan cemaran pangan;
    3. pengendalian proses di sepanjang rantai pangan;
    4. penerapan sistem ketertelusuran bahan; dan
    5. pencegahan penurunan atau kehilangan kandungan gizi pangan.
    1. menjamin keamanan pangan dan/atau keselamatan manusia.
    1. Bahan tambahan pangan, yakni bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.[9] Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan:[10]
    1. Bahan tambahan pangan yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan.

    Salah satu golongan bahan tambahan pangan ialah pewarna (colour)[11], berupa pewarna alami dan pewarna sintetis yang ketika ditambahkan atau diaplikasikan pada pangan mampu memberi atau memperbaiki warna.[12]

    Bahan tambahan pewarna alami dan sintetis dapat ditambahkan dalam pangan untuk memberi atau memerbaiki warna. Adapun untuk pewarna sintetis yang diperbolehkan:[13]

    1. Bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan.
    1. Pangan produk rekayasa genetik
    2. Iradiasi pangan
    3. Kemasan pangan
    4. Penggunaan bahan lainnya

    Setiap orang yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan lainnya untuk diedarkan wajib menggunakan bahan lainnya yang diizinkan.[14]

    Sehingga bisa saja pada pangan ditambahkan pewarna sintetis berdasarkan ketentuan di atas. Untuk menentukan apakah pewarna yang digunakan berbahaya atau tidak, perlu dikaji lebih lanjut jenis bahan pewarna serta ambang batas pewarna yang digunakan.

    Jika pewarna sintetis yang digunakan bukanlah bahan yang diperbolehkan atau melebihi ambang batas, maka tentu saja hal ini melanggar standar keamanan pangan.

     

    Sanksi Hukum

    Atas perbuatan tersebut, menurut hemat kami, pelaku bisa dikenakan sanksi:

    1. Sanksi Pidana

    Pelaku usaha yang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang yang tidak memenuhi atau tidak sesuai standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan dipidana penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal Rp 2 miliar[15], serta bisa dijatuhkan hukuman tambahan berupa:[16]

      1. perampasan barang tertentu;
      2. pengumuman keputusan hakim;
      3. pembayaran ganti rugi;
      4. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
      5. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
      6. pencabutan izin usaha.

    Selain itu, pelaku produksi pangan untuk diedarkan yang dengan sengaja menggunakan:[17]

      1. bahan tambahan pangan melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan; atau
      2. bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 10 miliar.
    1. Sanksi Perdata

    Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang yang dihasilkan atau diperdagangkan[18], yang berupa pengembalian uang atau penggantian barang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan, dan/atau pemberian santunan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi.[19]

    Pemberian ganti rugi tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.[20]

     

    1. Sanksi Administratif

    Setiap orang yang tidak menjamin keamanan pangan dan/atau keselamatan manusia dikenai sanksi administratif, berupa:[21]

    1. denda;
    2. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
    3. penarikan pangan dari peredaran oleh produsen;
    4. ganti rugi; dan/atau
    5. pencabutan perizinan berusaha.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
    2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan;
    3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
    4. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan

    [1] Pasal 2 huruf d UU Pangan

    [2] Pasal 1 angka 5 UU Pangan

    [3] Pasal 64 angka 6 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 68 ayat (1) UU Pangan

    [4] Pasal 64 angka 6 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 68 ayat (2) dan (3) UU Pangan

    [5] Pasal 28 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan (“PP 86/2019”)

    [6] Pasal 28 ayat (3) PP 86/2019

    [7] Pasal 1 angka 15 PP 86/2019

    [8] Pasal 3 ayat (2) jo. Pasal 4 ayat (1) PP 86/2019

    [9] Pasal 1 angka 12 PP 86/2019

    [10] Pasal 7 PP 86/2019

    [11] Pasal 9 ayat (1) huruf y PP 86/2019

    [12] Lampiran PP 86/2019

    [13] Lampiran PP 86/2021, hal. 27

    [14] Pasal 31 ayat (1) PP 86/2021

    [15] Pasal 8 ayat (1) huruf a jo. Pasal 62 ayat (1) UU 8/1999

    [16] Pasal 63 UU 8/1999

    [17] Pasal 136 UU Pangan

    [18] Pasal 19 ayat (1) UU 8/1999

    [19] Pasal 19 ayat (2) dan (3) UU 8/1999

    [20] Pasal 19 ayat (4) UU 8/1999

    [21] Pasal 71 UU Pangan jo. Pasal 64 angka 7 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 72 ayat (1) dan (2) UU 18/2012

    Tags

    pidana
    administrasi

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Tips Jika Menjadi Korban Penipuan Rekber

    1 Agu 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!