Dalam Pasal 4A ayat (1) UU JPH diatur bahwa "Untuk Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 didasarkan atas pernyataan pelaku usaha Mikro dan Kecil." Selanjutnya, dalam Pasal 12 PP 5/2021 diatur bahwa Nomor Induk Berusaha (“NIB”) yang merupakan legalitas perizinan berusaha yang diberikan kepada pelaku UMK yang melaksanakan kegiatan usaha dengan tingkat risiko rendah berlaku juga sebagai pernyataan jaminan halal. Apakah ini berarti pelaku UMK dikecualikan dari kewajiban mengurus sertifikat halal dan pemenuhan kewajiban sertifikat halal cukup dibuktikan dengan adanya pernyataan jaminan halal saja?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Secara hukum, pelaku Usaha Mikro dan Kecil (“UMK”) tetap wajib mengurus sertifikasi halal ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (“BPJPH”), yang mana kewajiban tersebut didasarkan pada pernyataan pelaku UMK.
Permohonan sertifikasi halal yang diajukan oleh pelaku UMK yang memenuhi kriteria tidak dikenai biaya. Apa saja kriteria yang harus dipenuhi? Lalu, bagaimana prosedur pengajuan sertifikasi halal bagi pelaku UMK?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
Namun, kewajiban produk bersertifikat halal ini dikecualikan bagi pelaku usaha yang memproduksi produk yang berasal dari bahan yang diharamkan. Sebagai gantinya, pelaku usaha tersebut wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produknya. [1]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Kewajiban Sertifikasi Halal bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK)
Namun demikian, pemerintah memberikan pengkhususan bagi pelaku usaha mikro dan kecil (“UMK”) dalam pemenuhan kewajiban sertifikasi halal produk yang diproduksinya, sebagaimana tertuang dalam Pasal 48 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang memuat baru Pasal 4A UU JPH:
Untuk Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 didasarkan atas pernyataan pelaku usaha Mikro dan Kecil.
Pernyataan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH.
Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a berupa NIB yang merupakan identitas Pelaku Usaha sekaligus legalitas untuk melaksanakan kegiatan usaha.
NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko rendah yang dilakukan oleh UMK, berlaku juga sebagai:
Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian; dan/atau
Pernyataan jaminan halal sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang jaminan produk halal.
Merujuk pada ketentuan di atas, maka diketahui bahwa kewajiban bersertifikat halal bagi pelaku UMK didasarkan atas pernyataan pelaku UMK berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (“BPJPH”).
Selain itu, khusus bagi pelaku UMK yang menjalankan kegiatan usaha dengan tingkat risiko rendah, maka Nomor Induk Berusaha (NIB) yang diperoleh melalui OSS Berbasis Risiko tersebut berlaku juga sebagai pernyataan jaminan halal.
Lantas, apakah berarti pelaku UMK dikecualikan dari kewajibannya untuk mengajukan permohonan sertifikasi halal ke BPJPH?
Produk tidak berisiko atau menggunakan bahan yang sudah dipastikan kehalalannya, dengan kriteria:[3]
Bersertifikat halal atau termasuk dalam daftar positif;
Tidak menggunakan bahan berbahaya; dan/atau
Telah diverifikasi kehalalannya oleh pendamping proses produk halal (PPH).
Proses produksi yang dipastikan kehalalannya dan sederhana, dengan kriteria:[4]
Menggunakan peralatan produksi dengan teknologi sederhana atau dilakukan secara manual dan/atau semi otomatis;
Proses produksi tidak mengalami proses iradiasi, rekayasa genetika, ozonisasi, dan penggunaan teknologi hurdle; atau
Lokasi, tempat, dan alat PPH sesuai dengan sistem Jaminan Produk Halal.
Harus memiliki NIB yang dikeluarkan oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang investasi.
Nantinya, pernyataan pelaku usaha tersebut disampaikan kepada BPJPH untuk diteruskan kepada Majelis Ulama Indonesia (“MUI”).[5] Setelah menerima dokumen dari BPJPH, MUI menyelenggarakan sidang fatwa halal untuk menetapkan kehalalan produk.[6] Selanjutnya, setelah MUI mengeluarkan fatwa halal tertulis, BPJPH menerbitkan sertifikat halal.[7]
Jadi, menjawab pertanyaan Anda, pelaku UMK tetap berkewajiban mengurus permohonan sertifikasi halal ke BPJPH sesuai dengan prosedur di atas. Sebagai informasi tambahan, permohonan sertifikasi halal yang diajukan oleh pelaku UMK tidak dikenai biaya.[8]
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.