Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Untuk mencegah penularan COVID-19, terdapat beberapa kebijakan yang diterapkan oleh instansi pemerintahan maupun swasta. Salah satunya yaitu dengan melakukan pemantauan keberadaan karyawan.
Setiap pimpinan unit kerja wajib melakukan pengawasan/pemantauan terhadap keberadaan pegawai dalam melaksanakan pekerjaan dan kondisi kesehatan pegawai di lingkungan kerjanya.
Dalam praktiknya, pemantauan pergerakan pegawai tersebut dilakukan oleh sejumlah pemberi kerja melalui pelacakan lokasi dengan memanfaatkan teknologi global positioning system (“GPS”). Fitur tersebut biasanya digunakan untuk memantau lokasi karyawan yang dipekerjakan Work From Home (“WFH”) sekaligus sebagai pengganti bukti kehadiran karyawan.
Tapi, bagaimana hukumnya jika perusahaan memantau pergerakan karyawan di luar jam kerja dengan mewajibkan karyawan memberitahukan lokasi keberadaanya (share live location)? Apakah kebijakan tersebut melanggar ha katas privasi milik karyawan? Untuk itu, kami akan membahasnya dengan mengasumsikan bahwa kebijakan tersebut tertuang dalam peraturan perusahaan (“PP”).
Hak atas Privasi
Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai berikut:
Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.
Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai.
Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang.
Walter Lipmann dalam Public Opinion (hal.44-45) mengemukakan pandangannya terkait privasi sebagai berikut:
At different times and for different subjects some men impose and other men accept a particular standard of secrecy. The frontier between what is concealed because publication is not, as we say, "compatible with the public interest" fades gradually into what is concealed because it is believed to be none of the public's business.
The notion of what constitutes a person's private affairs is elastic. Thus the amount of a man's fortune is considered a private affair, and careful provision is made in the income tax law to keep it as private as possible. The sale of a piece of land is not private, but the price may be.
Jika diterjemahkan secara bebas, pada waktu dan untuk subjek yang berbeda, beberapa orang memaksakan dan orang lain menerima standar kerahasiaan tertentu. Batasan antara apa yang dirahasiakan karena publikasinya tidak "sesuai dengan kepentingan publik" perlahan-lahan memudar menjadi merahasiakan suatu hal karena diyakini bahwa hal tersebut bukan urusan publik.
Lebih lanjut, Lipmann mengatakan bahwa gagasan mengenai apa yang merupakan urusan pribadi seseorang bersifat elastis. Sebagai contoh, jumlah kekayaan dianggap sebagai urusan pribadi, dan ketentuan yang cermat dibuat dalam undang-undang pajak penghasilan untuk menjaganya tetap bersirfat pribadi (rahasia). Penjualan sebidang tanah bukanlah urusan pribadi, tapi harganya bisa jadi (pribadi).
Selaras dengan pendapat tersebut, Alex Sobur dalam artikel Pers, Hak Privasi, dan Hak Publik yang dimuat dalam Jurnal Komunikasi Mediator menyatakan bahwa selama kepentingan umum tidak tersangkut, kehidupan pribadi anggota masyarakat tidak boleh dilaporkan tanpa izin yang bersangkutan (hal.88).
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hak atas privasi adalah hak seseorang untuk menyimpan hal yang bersifat rahasia secara bebas/leluasa tanpa diketahui orang lain di luar kehendaknya, kecuali ditentukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang mana hal tersebut menyangkut kepentingan umum.
Bolehkah Perusahaan Mewajibkan Karyawan Membagikan Live Location?
Sepanjang penelusuran kami, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara spesfifik mengenai pelacakan lokasi terkini bagi karyawan.
Namun, kebijakan tersebut berkaitan erat dengan hak asasi manusia (“HAM”), dalam hal ini yakni hak atas privasi karyawan sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 28G ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (“UUD NRI 1945”) sebagai berikut:
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Pengaturan yang lebih spesifik mengenai hak atas privasi dalam media elektronik diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UU 19/2016 yang berbunyi:
Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.
Dalam ketentuan di atas ditegaskan bahwa salah satu prinsip penggunaan informasi dalam media elektronik yang menyangkut data pribadi, dalam hal ini data terkait lokasi, adalah adanya persetujuan dari pemilik data tersebut.
Menurut hemat kami, kebijakan perusahaan yang mewajibkan karyawan membagikan lokasi terkininya di luar jam kerja, yang mana hal tersebut bersifat pribadi, bertentangan dengan prinsip persetujuan tersebut, karena dengan mewajibkan, berarti perusahaan telah menghilangkan hak karyawannya untuk memilih antara setuju atau tidak setuju untuk memberikan data pribadinya.
Berkaitan dengan upaya untuk meminimalisasi penyebaran COVID-19, Human Rights Watch dalam artikel
Mobile Location Data and Covid-19: Q&A memaparkan prinsip terkait penerapan kebijakan pemantauan melalui data lokasi sebagai berikut:
Even in times of emergency, when states restrict human rights for public health reasons, international human rights law says that measures taken that limit people’s rights and freedoms must be lawful, necessary, and proportionate.
Jika diterjemahkan secara bebas, paragraf di atas menjelaskan bahwa bahkan ketika negara membatasi HAM, dalam hal ini hak atas privasi dengan melakukan pemantauan lokasi lewat perangkat elektronik, karena alasan kesehatan masyarakat dalam keadaan darurat, hukum HAM internasional mengatakan bahwa tindakan yang membatasi hak dan kebebasan orang harus sah menurut hukum, perlu, dan proporsional, dengan penjabaran sebagai berikut:
[2]Sah menurut hukum, dalam arti tidak sewenang-wenang atau diskriminatif dalam desain atau penerapannya dan ditetapkan dalam undang-undang secara khusus untuk memberi gambaran yang jelas tentang apa yang dilarang dan batasan-batasannya.
Diperlukan, dalam arti pembatasan tersebut akan efektif, didasarkan pada bukti ilmiah, dan tidak ada alternatif yang akan berdampak lebih kecil pada hak-hak terkait.
Proporsional dengan risiko terhadap kesehatan masyarakat dan sama sekali tidak mengkompromikan esensi hak tersebut.
Pasal 73 UU HAM juga turut menegaskan bahwa hak dan kebebasan yang diatur dalam UU HAM, termasuk hak atas privasi sebagaimana kami jelaskan sebelumnya, hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap HAM serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Dengan demikian, baik hukum HAM nasional dan internasional telah menegaskan bahwa pembatasan hak atas privasi harus dilakukan/ditetapkan melalui undang-undang secara khusus. Oleh karena itu pembatasan yang dilakukan dengan PP sebagaimana dalam kasus yang Anda tanyakan bukan merupakan aturan pembatasan HAM yang sah.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan mewajibkan karyawan share live location di luar jam kerja tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Walter Lipmann. Public Opinion. (New York : Macmillan), 1998;
Alex Sobur. Pers, Hak Privasi, dan Hak Publik. Jurnal Komunikasi Mediator No.1 Vol. 2, Januari-Juni 2001;
[3] Pasal 111 ayat (2) UU 13/2003