Masih ingat perkara batalnya kontrak jutaan dolar di pengadilan dengan alasan melanggar ketentuan wajib penggunaan bahasa Indonesia dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa)? Hampir semua diskusi soal kebatalan kontrak gara-gara ketentuan wajib bahasa Indonesia biasanya merujuk perkara Nine AM Ltd. dengan PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL).
Kala itu, majelis hakim di semua tingkat pengadilan bertumpu pada Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa sebagai sebab terlarang yang dilanggar dalam membuat perjanjian. Pasal 31 ayat (1) yang dirujuk mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian/nota kesepahaman yang melibatkan melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga Negara Indonesia.
Dua gugatan BKPL agar kontraknya dengan Nine AM Ltd. dinyatakan batal demi hukum dikabulkan seluruhnya hingga tingkat kasasi. Alih-alih memeriksa argumentasi lain yang juga diajukan penggugat atau dari sanggahan tergugat, majelis hakim fokus pada penafsiran sebab terlarang. Laporan lebih lengkap soal ini bisa dibaca pada artikel berjudul Waspada Kontrak Batal Demi Hukum Gara-Gara Bahasa Indonesia.
Ternyata, tidak semua pengadilan mengikuti cara pandang majelis hakim dalam perkara antara Nine AM Ltd. dan BKPL itu. Aria Suyudi, dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera menjelaskan putusan-putusan yang ternyata mengabaikan Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa. Kontrak yang dibuat hanya dengan bahasa asing dianggap tetap sah berlaku oleh pengadilan atas dasar KUHPerdata.