4 Catatan Koalisi Terhadap RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Terbaru

4 Catatan Koalisi Terhadap RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Antara lain bentuk kekerasan seksual, restitusi, lembaga layanan dan fasilitas untuk korban.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Kurniati menegaskan penegakan hukum juga penting untuk mencegah kekerasan seksual. Dia melihat sudah banyak aturan yang mengatur tentang kekerasan seksual, seperti KUHP, UU Perlindungan Anak, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks), Naila Rizqi, mengatakan RUU TPKS penting untuk segera disahkan. Kendati demikian, Koalisi mendesak pemerintah dan DPR membenahi sejumlah substansi RUU TPKS. Koalisi mencatat sedikitnya 4 hal terhadap RUU TPKS.

Pertama, masih banyak celah dalam sistem hukum terkait penanganan kasus kekerasan seksual. Peraturan yang ada belum mampu mengenali beragam bentuk kekerasan seksual. Misalnya, KUHP tidak mengatur perkosaan yang menimpa laki-laki; membatasi bentuk perkosaan hanya penetrasi penis ke vagina.

“Faktanya banyak bentuk perkosaan, tapi itu tidak bisa dijerat menggunakan KUHP,” ujarnya.

Aturan serupa juga ada dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dimana perkosaan yang dikenali hanya yang terjadi dalam skema tindak pidana perdagangan orang. Selain itu, tindak pidana perdagangan orang harus dibuktikan terlebih dulu, misalnya ada rekrutmen, perpindahan, dan modusnya. Begitu pula UU Perlindungan Anak, hanya menjerat kasus perkosaan terhadap anak. Sama halnya dengan UU KDRT, ruang lingkupnya sempit hanya dalam rumah tangga.

Kedua, kelemahan prosedural dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Naila menyebut KUHP menggunakan hukum acara pidana, fokusnya pada hak-hak tersangka. Sebaliknya, fokus RUU TPKS pada korban, ada aturan yang melarang aparat penegak hukum untuk menyudutkan korban, termasuk ada pemulihan. “RUU TPKS memberikan akses keadilan dan pemulihan terhadap korban,” paparnya.

Ketiga, isu kebebasan dan penyimpangan seksual akan mengaburkan fokus penanganan kasus kekerasan seksual. Naila berpendapat jika hal tersebut dipidana, maka berisiko besar terhadap korban perkosaan. Banyak kasus menunjukkan proses hukum tidak dilanjutkan karena pelaku bilang kasusnya bukan perkosaan tapi atas dasar suka sama suka, ujungnya korban dikawinkan dengan pelaku. Hal tersebut membuat korban tidak mendapat keadilan.

Menurut Naila, dalih kebebasan dan penyimpangan seksual meningkatkan kasus HIV/AIDS tidak tepat jika yang digunakan pendekatan pidana. Seharusnya yang digunakan pendekatan kesehatan dan pendidikan. Data PBB terkait penanganan kasus HIV/AIDS menunjukkan jumlah kasus HIV/AIDS lebih banyak di negara yang mengkriminalisasi hubungan seks.

Pemidanaan terhadap hubungan seks menyebabkan upaya pencegahan melemah karena orang takut untuk tes HIV/AIDS karena ketika hasilnya positif dia bisa dijerat pidana. “Karena itu PBB merekomendasikan untuk dekriminalisasi terhadap transmisi HIV/AIDS melalui hubungan seks dan pengguna narkotika (jarum suntik, red),” imbuhnya.

Kempat, sejumlah ketentuan RUU TPKS harus dibenahi sebelum disahkan. Misalnya, harus ada kejelasan tentang 9 bentuk kekerasan seksual meliputi pelecehan seksual; eksploitasi seksual; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan aborsi; perkosaan; pemaksaan perkawinan; pemaksaan pelacuran; perbudakan seksual; dan penyiksaan seksual. Naila melihat dalam draft RUU TPKS yang dibahas Desember 2021, 9 bentuk kekerasan seksual itu dipangkas menjadi 5. “Ini sangat fatal akibatnya kalau dipangkas,” tegasnya.

Naila juga menyoroti beberapa ketentuan yang belum jelas pengaturannya dalam RUU TPKS seperti mekanisme hak restitusi, dan lembaga layanan. Fasilitas untuk korban juga harus diatur detail misalnya visum, karena selama ini banyak korban yang tidak bisa melakukan visum karena kendala biaya. Kemudian layanan psikologis dan psiko sosial.

Tags:

Berita Terkait