Dunia kaum idealis mungkin saja membayangkan bahwa setiap orang yang bersengketa akan menjalankan putusan pengadilan secara sukarela, terlepas dari menang atau kalah. Sebaliknya, dunia kaum realis menunjukkan betapa seringnya orang yang kalah enggan melaksanakan putusan hakim secara sukarela.
Maka, tidak mengherankan, di kalangan akademik berkembang pertanyaan sederhana; mengapa orang menaati atau tidak menaati putusan pengadilan? Mengapa orang mematuhi putusan hakim, dan mengapa pula orang lain bersikap sebaliknya? Beragam jawaban bisa diperoleh, tergantung perspektif seseorang. Mungkin bisa dibaca salah satunya karya Tom R. Tyler, “Why People Obey the Law”. Satu hal yang pasti, kepatuhan berkaitan dengan trust atau kepercayaan para pihak terhadap sistem peradilan dan putusan itu sendiri.
Para pembentuk undang-undang berusaha memastikan agar putusan pengadilan dipatuhi dan dijalankan. Kewajiban yang sama juga berlaku untuk forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Apabila putusan tidak dijalankan secara sukarela, maka tangan kuat pengadilan dapat digunakan.
Simak misalnya Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal ini menegaskan: “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”.