Babak Baru UU Cipta Kerja: Babak Belur Perundang-undangan?
Kolom

Babak Baru UU Cipta Kerja: Babak Belur Perundang-undangan?

Ada tiga hal yang perlu dilakukan Pemerintah dan DPR dalam melaksanakan Putusan MK tentang uji formil UU Cipta Kerja ini.

Bacaan 6 Menit

Sebagaimana Penulis pernah sampaikan dalam keterangan ahli di MK, Pemerintah dan DPR melanggar aturan yang dibuatnya sendiri saat merumuskan UU Cipta Kerja karena tidak mau berpedoman pada Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Namun sayangnya, ada beberapa hal yang patut dikritisi dari putusan MK tersebut.

Pertama, jenis dari putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yakni inkonstitusional bersyarat. Putusan MK dengan jenis inkonstitusional bersyarat bukan barang baru dalam uji materiil undang-undang. Permasalahannya, dalam pengujian formil, Penulis memandang jenis putusan inkonstitusional bersyarat menimbulkan permasalahan baru, terlebih seluruh proses pembentukan peraturan UU Cipta Kerja telah lewat, sehingga logikanya proses tersebut tidak bisa diulang ataupun diperbaiki kembali.

Menurut Penulis, jika Hakim MK telah dengan yakin menyatakan bahwa UU Cipta Kerja telah cacat secara prosedural maka seharusnya dengan tegas Undang-Undang tersebut harus dinyatakan batal demi hukum (inkonstitusional) bukan inkonstitusional bersyarat. Tentu Penulis memahami bahwa putusan ini adalah bentuk ‘kompromi’ sehingga tidak meniadakan serta merta seluruh UU Cipta Kerja pada tanggal diputuskan, namun terdapat rentetan konsekuensi yang tidak terelakan dari ‘embel-embel’ bersyarat dalam putusan dimaksud.

Kedua, melalui putusan ini MK tidak serta merta melarang teknik pembentukan peraturan perundang-undangan dengan cara Omnibus Law. MK justru memerintahkan revisi atas UU PPP untuk mengakomodasi teknik Omnibus Law dalam pembentukan perundang-undangan Indonesia.

Menurut Penulis, hal ini justru membuka peluang bagi Pemerintah membentuk Omnibus Law baru selama Lampiran II UU PPP diubah. Padahal, dari praktik yang ada pembentukan UU dengan metode omnibus law ini jelas tidak ideal. Seperti dalam kesaksian ahli yang Penulis sampaikan pada saat pengujian UU Cipta Kerja, teknik/metode omnibus law berimplikasi pada kesulitan pembaca atau pihak yang terdampak UU ini untuk mengerti isi dari UU Cipta Kerja. Jika pihak yang terdampak sulit untuk membaca UU tersebut, hal ini sangat berpengaruh pada tingkat kepatuhan dan kedayagunaan UU tersebut.

Ketiga, putusan MK tersebut tidak memberikan kejelasan pada makna “tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas"' sehingga implementasinya mungkin sulit dan menimbuilkan pertanyaan bagaimana pemerintah dapat menentukan mana kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas? Tentunya Putusan MK ini dapat menimbulkan “kebingungan” baru bagi pemerintah dalam menjalankan UU Cipta Kerja.

Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 juga menimbulkan pertanyaan untuk publik mengenai undang-undang yang teknik penyusunannya hampir mirip dengan UU Cipta Kerja yang tidak berpedoman dengan Lampiran II UU PPP misalnya UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Jika ada pihak yang mengajukan uji formil atas teknik penyusunan UU HPP, apakah MK juga akan mengeluarkan putusan yang sama?

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait