Babak Baru UU Cipta Kerja: Babak Belur Perundang-undangan?
Kolom

Babak Baru UU Cipta Kerja: Babak Belur Perundang-undangan?

Ada tiga hal yang perlu dilakukan Pemerintah dan DPR dalam melaksanakan Putusan MK tentang uji formil UU Cipta Kerja ini.

Bacaan 6 Menit

Langkah kedepan UU Cipta Kerja

Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 membuka babak baru UU Cipta Kerja. Pekerjaan rumah yang perlu dilakukan oleh Pemerintah dan DPR sebenarnya cukup berat berkaitan dengan pelaksanaan Putusan MK tersebut. Pertama, Pemerintah dan DPR perlu memperbaiki pembentukan UU Cipta Kerja. Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana cara memperbaiki pembentukan undang-undang yang sudah jadi, padahal UU Cipta Kerja masih berlaku?

Terhadap pertanyaan ini Penulis mengajukan beberapa usul yakni pemerintah perlu segera memulai proses revisi UU Cipta Kerja, dalam proses ini, Pemerintah dan DPR perlu mengindahkan tiga hal penting yang ada dalam pertimbangan hakim MK. Ketiga hal tersebut antara lain; (1) kesesuaian dengan teknik perancangan peraturan perundang-undangan sesuai dengan Lampiran II UU PPP, (2) membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat yang mau mengkritisi dan memberi masukan terhadap revisi UU Cipta Kerja, dan (3) menghindari adanya perubahan substansi yang ‘mendadak’ ada di sela-sela proses persetujuan bersama Presiden dan DPR dan pengesahan.

Terhadap teknik pembentukan UU Cipta Kerja, Penulis mengusulkan untuk menggunakan konsep yang sudah ada dalam Lampiran II UU PPP yakni mengajukan UU baru yang ketentuan perubahannya diadopsi ke dalam format UU baru serta mencabut keseluruhan UU lama (UU yang diubah sebagian oleh UU cipta kerja) di ketentuan penutup. Hal ini tentu akan menimbulkan jumlah pasal yang sangat banyak, sehingga Penulis mengusulkan teknik grouping yang dipakai dalam UU Cipta Kerja yang baru adalah memakai pengelompokan ‘Buku’, sehingga memudahkan klasterisasi ketentuan beberapa UU yang diubah.

Terhadap arahan MK mengenai partisipasi masyarakat, Penulis mengingatkan kembali bahwa untuk mendapatkan usulan dan partisipasi masyarakat memerlukan waktu yang cukup. Hal ini Penulis anggap esensial dalam menaati putusan MK dimaksud. Waktu yang cukup bukan hanya penting untuk mendapatkan usulan dan partisipasi masyarakat, namun juga untuk memeriksa ulang ketentuan-ketentuan yang salah rujuk atau salah tulis sebagaimana pernah terdapat kesalahan dalam pasal di UU Cipta Kerja. Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 membuka ruang untuk Presiden dan DPR melakukan perubahan substansi yang selama ini dipermasalahkan oleh masyarakat baik di jalur formal (pengajuan permohonan pengajuan materiil di MK) maupun informal (kritik dan saran di media massa maupun demonstrasi).

Jika pemerintah dan DPR dapat dengan tepat menanggapi Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 maka sebenarnya Pemerintah dan DPR dapat menjadikan momentum ini sebagai kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan terdahulu di UU Cipta Kerja. Namun, jika kesempatan ini tidak disikapi dengan baik, maka babak baru UU Cipta Kerja hanya akan menambah babak belur sistem perundang-undangan Indonesia.

*)Fitriani Ahlan Sjarif adalah Saksi Ahli Uji Formil UU Cipta Kerja dari Pemohon, Dosen Perundang-undangan Fakultas Hukum UI, dan Direktur Indonesian Center for Legislative Drafting.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, Isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait