Berbeda dengan Ormas, Pahami Pengertian Organisasi Masyarakat Sipil
Utama

Berbeda dengan Ormas, Pahami Pengertian Organisasi Masyarakat Sipil

Salah kaprah antara penyamaan OMS dengan Ormas harus diluruskan.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 6 Menit

Risiko-risiko ini perlu dipahami terlebih dahulu oleh OMS yang hendak mendefinisikan organisasinya sebagai Ormas. Jangan sampai OMS lupa konteks, dan langsung mengaku sebagai Ormas, misalnya hanya untuk memenangkan Ormas Awards atau sekadar supaya bisa ikut dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Keputusan untuk mendefinisikan diri sebagai Ormas, harus ditimbang masak-masak oleh OMS lengkap dengan segala risikonya.

Untuk meluruskan kerancuan tersebut, Eryanto berpendapat perlu ada perubahan undang-undang untuk meluruskan kerancuan ini. Pengaturan OMS sebaiknya dikembalikan kepada kerangka hukum yang benar yaitu: 1) UU Yayasan untuk OMS yang tidak berbasis anggota, 2) UU Perkumpulan untuk OMS yang berbasis anggota. Adapun terkait bidang kegiatan masing-masing (misal: kesehatan, pendidikan, penelitian, keagamaan dll), OMS bisa berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga yang sesuai bidangnya. Dengan begini, tidak ada Kementerian/Lembaga yang bertindak seakan jadi “Big Brother Institution” ala Orwell yang memayungi semua jenis OMS lintas bidang kegiatan.

Eryanto mengatakan perebutan tafsir ini bukan sekadar urusan teknokratik revisi bunyi pasal belaka. Perlu disadari bahwa fenomena “shrinking civic space” sedang terjadi juga pada sektor masyarakat sipil di Indonesia. Dalam ruang yang menyempit, publik perlu bersiap dan menentang bermunculannya upaya menyempitkan ruang gerak organisasi, mempersulit perizinan, mendiskreditkan, menutup akses pendanaan, mengkriminalisasi, ataupun tindakan sewenang-wenang lainnya terhadap OMS. Sektor masyarakat sipil ini perlu dijaga bersama, untuk memastikan tersedianya ruang bebas dalam membuat perubahan.

Direktur Eksekutif YAPPIKA-Actionaid dan Koordinator Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB). Fransisca Fitri menyampaikan terdapat berbagai temuan sepanjang 2019-2020 mengenai pelanggaran dan/atau pembatasan hak atas kebebasan berorganisasi. Bentuk pelanggaran tersebut seperti izin dipersulit, kewajiban mendaftar, stigmatisasi OMS, pembatasan akses, pelarangan aktivitas, pelarangan organisasi, kriminalisasi, pembentukan aturan turunan, pengawasan berlebihan dan union busting.

“Dari tahun ke tahun pelaksanaan UU Ormas, KKB mulai mendapat pola implementasinya seperti mending semua organisasi daftar dan harus punya SKT. Ini bertentangan dengan putusan MK yang menghapus kewajiban daftar. Jika tidak daftar atau tidak punya SKT ada stigma organisasi ilegal atau bodong. Kemudian, ada restriksi akses terhadap sumber daya, lalu pelarangan aktivitas, pelarangan organisasi atau pencabutan badan hukum, kriminalisasi, penangkapan aktivis dan pemantauan berlebihan dari pemerintah daerah,” jelas Fransisca.

Tags:

Berita Terkait