Begitu berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2018 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, ketika itu juga upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) dihilangkan. Banyak suara yang sepakat dengan beleid tersebut mengingat karakteristik perkara PHI yang memang unik dan butuh penanganan dan kepastian hukum secepat mungkin. Ada sifat ‘kekhususan’ dari suatu perkara PHI yang berasaskan peradilan yang cepat dan berbiaya ringan.
Kasus PHI biasanya juga tergolong sangat sederhana, sepanjang para pihak yang berselisih bisa melaksanakan hak dan kewajibannya maka perkara ini bisa selesai dengan mudah. Justru bila dibiarkan berlarut-larut akan membuat rumit persoalan bagi pekerja. Bisa dibayangkan, jika perkara PHI nilainya hanya Rp5 juta untuk satu kali gaji pekerja, biaya mengurus perkara bisa-bisa jauh lebih besar dari nilai perkara.
Apalagi Pengadilan PHI hanya ada di ibukota provinsi, bagaimana jika pekerja berkedudukan hukum di daerah pelosok yang jauh dari ibukota provinsi? Dalam proses untuk membiayai beberapa kali sidang, berapa besar rupiah yang harus dikeluarkan si pekerja? Bisa-bisa, biaya yang dikeluarkan untuk mengakses keadilan jauh lebih besar ketimbang gaji pekerja yang hendak diperjuangkan. Itu pun belum tentu berhasil.
Terlebih lagi jika di tengah jalan pekerja sudah menang di tingkat kasasi, bersamaan dengan habisnya amunisi modalnya untuk bertarung di gelanggang pengadilan, namun pihak pengusaha malah mengajukan PK. Otomatis hal itu bisa menyulitkan pekerja. Dari berbagai keterangan praktisi dan literatur, setidaknya tujuan dari dihilangkannya PK tak lain demi pekerja itu sendiri, karena semakin panjang prosesnya, semakin mahal lagi biaya yang harus dikeluarkan.