Catatan Hukum DPN Peradi untuk Pemerintahan Jokowi
Utama

Catatan Hukum DPN Peradi untuk Pemerintahan Jokowi

Peradi menilai pemerintahan Presiden Jokowi masih amat lemah di bidang hukum. Dalam catatan hukumnya, Peradi turut memberikan kritik terhadap MA, KY, dan DPR.

Oleh:
CR-28
Bacaan 4 Menit

Untuk itu, Peradi mengusulkan bahwa hak yang dimiliki KY untuk rekrutmen hakim agung diambil (dihapus, red) dan tidak diberikan lagi kepada KY. Sehingga KY dapat fokus sebagai lembaga yang mengawasi para hakim agung dan hakim di bawahnya. Nantinya kewenangan rekrutmen sepenuhnya dikembalikan kepada MA agar mutu hakim agung bisa kembali lebih baik lagi, sehingga bisa menghasilkan putusan yang berkualitas.  

Poin selanjutnya, Otto meminta pertanggungjawaban MA atas rusaknya atau menurunnya kualitas advokat Indonesia. Karena dengan adanya SK KMA No.73 Tahun 2015 yang membolehkan seorang advokat disumpah atas usulan organisasi advokat di luar Peradi. Hal ini berakibat rekrutmen advokat tidak memenuhi standar profesi yang sebenarnya.

"Kualitas advokat menjadi rendah, sampai sembarang orang bisa menjadi advokat karena sudah disumpah di hadapan Ketua Pengadilan Tinggi atas perintah SK KMA. Kerusakan ini harus menjadi tanggung jawab MA. Kami meminta MA untuk segera mencabut surat itu, karena selain telah melanggar UU, melanggar putusan MK, juga dapat menghancurkan harapan dan nilai keadilan yang ingin dicapai setiap masyarakat Indonesia."

Perihal peraturan perundang-undangan, Peradi melihat DPR cukup gesit dalam membentuk UU, meski masih belum mencapai target yang diinginkan. Disamping kuantitas, kualitas dari UU itu sendiri turut menjadi perhatian. Dengan banyaknya UU yang diterbitkan dirasa belum seluruhnya mencerminkan apa yang diinginkan rakyat Indonesia. Terlebih dengan minimnya pelibatan Peradi sebagai organisasi profesi yang bergerak dalam bidang penegakan hukum.

Salah satu produk hukum kontroversial yang dikhawatirkan bisa membawa kekacauan hukum ke depannya adalah Pasal 2 RKUHP yang pada ayat (1)-nya menyebutkan, "ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini". 

Menurutnya, pasal tersebut dianggap sebagai ancaman yang amat berbahaya bagi masyarakat karena memungkinkan pemidanaan tanpa aturan jelas yang tertulis sebelumnya. Untuk itu, Peradi meminta pemerintah untuk kembali memperhatikan isi RKUHP tersebut karena ditakutkan potensi membuat hukum Indonesia menjadi chaos.

“Kalau pemerintah yang sangat kuat dengan koalisinya di DPR ini digunakan untuk kepentingan yang baik, saya yakin negara ini akan menjadi baik. Tetapi kalau kewenangan dan kekuatan yang dimiliki digunakan untuk tujuan yang tidak baik dalam berhukum, berpotensi juga rusaknya hukum di negeri ini. Saya meminta Presiden menangkap momentum ini, kiranya hak itu dapat diberdayakan untuk kepentingan penegakan hukum di Republik kita ini," tutup Otto.

Tags:

Berita Terkait