Hukuman Joko S. Tjandra Terlalu Ringan ?
Berita

Hukuman Joko S. Tjandra Terlalu Ringan ?

Jakarta, Hukumonline. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Joko S. Tjandra, terdakwa kasus Baligate, hanya 18 bulan ternyata menimbulkan polemik. Beberapa praktisi hukum dan masyarakat menganggap tuntutan tersebut terlalu ringan.

Oleh:
Tri/Apr
Bacaan 2 Menit
Hukuman Joko S. Tjandra Terlalu Ringan ?
Hukumonline
Antasari Azhar, JPU kasus Bank Bali mengatakan bahwa tuntutan selama 18 bulan penjara kepada terdakwa dilakukan dengan pertimbangan adanya hal-hal yang meringankan terdakwa. Pertama, uang yang dikorupsi sebesar Rp546 milliar tersebut telah dikembalikan oleh terdakwa kepada negara. Kedua, penjatuhan hukuman bukanlah suatu balas dendam. Ketiga, sebagai tolok ukur dalam perkara-perkara sebelumnya yang sudah dijatuhi pustusan.

Menurut Antasari, tuntutan JPU sampai kepada angka 1 tahun 6 bulan ini terlepas dari peran terdakwa dalam perkara ini. JPU tidak melihat terdakwa tidak mempunyai otoritas dalam hal pencairan dana. Alasannya, yang mempunyai otoritas tersebut adalah Bank Indonesia (BI) dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Peran terdakwa adalah sebagai turut serta, kata Antasari di Kejaksaan Agung pada 2 Agustus 2000.

Antasari juga menyebutkan bahwa dalam persidangan tidak terungkap secara formil perbuatan melawan hukum peran terdakwa dalam pencairan dana. Namun menurutnya, penekanan tuntutan ialah pada perbuatan melawan hukum dalam arti materil. Berdasarkan kepatutan, seharusnya terdakwa menolak perjanjian cessie antara Bank Bali dengan PT EGP (Era Giat Prima). Penagihan klaim Bank Bali kepada BPPN itu selalu ditolak.

Dalam kesempatan itu, Antasari mengatakan bahwa Kasus Joko S. Tjandra merupakan kunci untuk mengungkap tabir kasus Bank Bali secara keseluruhan. Pasalnya, apabila Joko S. Tjandra diputus bebas, mereka-mereka yang terlibat dan bukan bagian dari otoritas moneter tentu akan bebas pula.

Seandainya nanti Joko S. Tjandra dinyatakan bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, maka pihak Kejaksaan (JPU) akan menyatakan kasasi terhadap keputusan tersebut, kata Antasari menanggapi kemungkinan putusan bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Kekhawatiran terhadap bebasnya Joko memang beralasan. Karena dengan dakwaan JPU itu, beberapa praktisi hukum menilai Joko berpeluang bebas. Dalam putusan sela pada 6 Maret 2000, dakwaan atas kasus Joko pernah diputuskan tidak diterima oleh PN Jakarta Selatan. Kejaksaan kemudian mengajukan banding dan pengadilan banding memutuskan agar kasus ini didangkan kembali.

Statement OC. Kaligis

Antasari juga membantah pernyataan O.C. Kaligis, kuasa hukum Joko S. Tjandra, yang mengatakan bahwa requisitoir hanya mengutip Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Ia menjelaskan bahwa sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi, pihak JPU sudah menanyakan kepada saksi-saksi, apakah keterangan yang diberikan kepada penyidik itu dipungkiri.

Jika tidak dipungkiri, itu merupakan fakta-fakta hukum yang ada ditambah fakta-fakta yang ada di persidangan. Keterangan yang berbeda dengan BAP adalah kesaksian pakar hukum pidana Loebby Loqman (saksi a charge yang diajukan oleh JPU.

Yang dikatakan O.C. Kaligis itu tidak benar. Karena requisitoir yang diajukan oleh JPU berisi fakta-fakta yang membuktikan bahwa terdakwa bersalah, turut serta dalam melakukan tindak pidana korupsi, tambahnya.

Dalam requisitor JPU, terdakwa Joko S. Tjandra terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana kejahatan, turut serta melakukan tindak pidana korupsi, dan berturut-turut sebagai perbuatan berlanjut, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 1 ayat (1) sub a, jo Pasal 28, jo Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1, jo Pasal 64 ayat (1), jo Pasal 1 ayat (2) KUHPidana.

Antonius Sujata, Ketua Komisi Ombudsman, mengatakan bahwa dalam menuntut seorang terdakwa, banyak hal-hal yang menjadi pertimbangan jaksa, termasuk hal-hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa.

Menurut Antonius Sujata, tidak ada minimal hukuman di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, yang ada adalah maksimal hukuman. Jika memang menggunakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, itu memang ada minimal hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi, kata Antonius.

Tindak pidana korupsi

Ketentuan hukum di Indonesia yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi saat ini adalah Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang hal yang sama.

Namun dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP disebutkan bahwa jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) KUHP inilah JPU menuntut terdakwa dengan menggunakan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971.

Dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 memang tidak disebutkan hukuman minimal bagi pelaku korupsi, seperti yang terdapat pada Pasal 28, yaitu Barang siapa melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud Pasal 1 ayat (1) sub a, b, c, d, e dan ayat (2) undang-undang ini, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 30 (tigapuluh) juta rupiah. Selain itu dapat dijatuhkan juga hukuman tambahan pada pasal 34 sub a, b dan c Undang-Undang ini.

Sementara dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, disebutkan hukuman minimal bagi pelaku tindak pidana korupsi. Seperti yang terdapat pada pasal 2 ayat (1) yang mengancam pelaku dengan hukuman paling singkat 4 tahun penjara dan denda paling sedikit dua ratus juta rupiah.

Namun yang menarik dalam Undang-Undang Nomor 39/1999 ini adalah bahwa bahkan kepada orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, ancaman hukumannya sama dengan orang yang melakukan korupsi, seperti yang terdapat pada Pasal 15 dan 16.

Nah masalahnya memang mengapa Joko hanya dituntut hukuman 1,5 tahun. Jika menggunakan UU No.31 Tahun 1999, Joko minimal dituntut 4 tahun. Lalu meskipun dalam UU No.3 Tahun 1971 maksimal hukuman 20 tahun, mengapa hanya 1,5 tahun?

Bagi orang awam hukum, tuntutan itu tidak sebanding dengan angka hampir Rp1 triliun dalam kasus Bank Bali dan telah mencoreng wajah Indonesia di dunia internasional. Dengan tuntutan hanya 1,5 tahun, tuntutan kepada Joko itu sama dengan maling kelas teri. Ujungnya memang soal keadilan. Di hadapan hukum, seharusnya semuanya sama. Tri/Apr
Tags: