Mahkamah Agung Republik Indonesia memberlakukan sistem kamar sejak tahun 2011. Sistem ini mengatur hakim agung hanya mengadili perkara-perkara yang masuk ke dalam yurisdiksi kamarnya saja. Hal ini sesuai yang diutarakan Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung, Takdir Rahmadi.
“Pemberlakuan sistem kamar merupakan kebijakan untuk mewujudkan kesatuan hukum atau konsistensi hukum. Kesatuan hukum mengandung pengertian bahwa untuk perkara-perkara yang masalah hukumnya sama atau mirip, haruslah diputus dengan penyelesaian hukum yang sama pula,” ujar Takdir dalam rilisnya.
Sejak saat itu, rumusan hukum hasil rapat pleno kamar menjadi rambu-rambu penting berlitigasi selain yurisprudensi tetap Mahkamah Agung. “Rumusan hukum hasil rapat kamar kemudian dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung, sehingga seluruh hakim pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding, serta masyarakat pada umumnya, dapat mengetahui penyelesaian hukum terhadap masalah-masalah hukum terkait,” kata Takdir menambahkan.
Nah, berkaitan sengketa hak atas tanah, tercatat setidaknya ada rumusan hukum kamar tata usaha negara tahun 2018 dan rumusan hukum kamar perdata tahun 2016 yang berlaku hingga saat ini. Ditambah lagi ada dua yurisprudensi tetap tahun 2018 masing-masing dengan nomor katalog 5/Yur/Pdt/2018 dan 6/Yur/Pdt/2018. Semuanya menjelaskan kewajiban-kewajiban untuk dipenuhi pembeli tanah beriktikad baik agar dilindungi haknya oleh pengadilan.