Menaker Beberkan Dampak Negatif Bila Upah Minimum Terlalu Tinggi
Utama

Menaker Beberkan Dampak Negatif Bila Upah Minimum Terlalu Tinggi

Menurunkan indeks daya saing Indonesia terkait kepastian hukum; terhambatnya potensi perluasan perluasan kesempatan kerja; terjadi substitusi tenaga kerja ke mesin; PHK; hingga mendorong tutupnya perusahaan akibat upah minimum terlalu tinggi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Sejumlah serikat buruh berunjuk rasa di depan Balai Kota Jakarta, Selasa (26/10/2021) menuntut pemerintah untuk menaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 sebesar 10 persen. Foto: RES
Sejumlah serikat buruh berunjuk rasa di depan Balai Kota Jakarta, Selasa (26/10/2021) menuntut pemerintah untuk menaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 sebesar 10 persen. Foto: RES

Pemerintah mengatur penetapan upah minimum provinsi (UMP) oleh Gubernur dilakukan melalui Keputusan Gubernur dan diumumkan paling lambat 21 November tahun berjalan. Sedangkan, upah minimum kabupaten/kota paling lambat 30 November tahun berjalan.

Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, mengatakan upah minimum berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 tahun pada perusahaan yang bersangkutan. Buruh dengan masa kerja lebih dari 1 tahun acuannya struktur dan skala upah di masing-masing perusahaan.

Ida menyebutkan ada metode internasional untuk mengukur tinggi-rendahnya upah minimum di suatu wilayah yakni metode Kaitz Index. Caranya dengan membandingkan besaran upah minimum yang berlaku dengan median upah (nilai tengah dari upah nominal tertinggi dan terendah per perusahaan, red). Mengacu Kaitz Index, besaran upah minimum di Indonesia melebihi median upah.

Dia menilai Indonesia satu-satunya negara yang memiliki Kaitz Index melebihi nilai ideal atau 1. Padahal, idealnya Kaitz Index berada di nilai 0,4 (40 persen) sampai 0,6 (60 persen) di bawah upah median. “Kondisi upah minimum terlalu tinggi menyebabkan sebagian besar pengusaha kita tidak bisa menjangkaunya dan berdampak negatif terhadap implementasinya di lapangan,” kata Ida saat memberi keterangan pers secara daring, Selasa (16/11/2021) kemarin.(Baca Juga: Upah Minimum 2022 Lebih Rendah dari Inflasi Diprotes Buruh)

Menurut Ida, kondisi tersebut membuat pengusaha memandang upah minimum sebagai upah efektif. Sebab, kenaikan upah cenderung mengikuti kenaikan upah minimum tanpa didasari kinerja individu. Tapi, persoalan ini membuat kalangan serikat buruh menuntut upah minimum ketimbang membahas upah berbasis kinerja atau produktivitas.

Kementerian Ketenagakerjaan telah menerbitkan Surat Edaran No.B-M/383/HI.01.00/XI/2021 tentang Penyampaian Data Perekonomian dan Ketenagakerjaan Dalam Penetapan Upah Minimum Tahun 2022. Mengacu data tersebut kepala daerah dapat menentukan upah minimum sesuai ketentuan dan mencermati kondisi di daerahnya berdasarkan kondisi makro daerah masing-masing. Edaran tersebut memuat data BPS seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, garis kemiskinan, dan data pengangguran terbuka.

“Setelah kami melakukan simulasi (penghitungan upah minimum, red), berdasarkan data BPS tersebut rata-rata kenaikan upah minimum secara nasional itu 1,09 persen,” papar Ida.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait