Bagaimana jika novum yang diajukan ternyata bukan novum? Apa saja yang betul-betul bisa dikategorikan sebagai novum? Bahasan ini terinspirasi dari perbincangan beberapa pekan lalu bersama Hakim Ad Hoc PHI Mahkamah Agung, Sugeng Santoso, bahwa mayoritas novum yang diajukan di tingkat Peninjauan Kembali (PK) banyak ditemukan secara hakikat bukanlah novum. Banyak yang hanya mengulang memori kasasi lalu dibungkus ulang dalam bentuk yang tampak berbeda.
Dari situ, Penulis mengumpulkan berbagai Putusan PK untuk menyisir berbagai novum yang diajukan pemohon, untuk kemudian ditelaah, seperti apa bentuk novum yang diterima maupun ditolak Majelis? Kualifikasi dan parameter novum yang jelas seperti apa? Sekaligus memperkaya literasi akademik soal ‘bagaimana menemukan dan memperjuangkan sebuah novum dalam upaya hukum Peninjauan Kembali’.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat dikatakan belum mengatur secara jelas dan tegas perihal novum, sehingga pengertian dan ruang lingkupnya menimbulkan multiinterpretasi di kalangan ahli hukum. Alasan tidak diatur secara terperinci mengenai kualifikasi novum dapat dikaitkan dengan tujuan serta eksistensi PK yang menitikberatkan kepada perbaikan atas penilaian hakim.
Alhasil, zona abu-abu dalam kualifikasi novum ini sering dimanfaatkan untuk mengajukan upaya hukum PK yang mengakibatkan banjirnya permohonan pengajuan PK di MA (Ajeng Tri Wahyuni: 2008). Hasilnya, ada banyak sekali novum yang tidak diakui sebagai novum di hadapan Majelis PK. Kekuatan novum yang didasarkan pada penilaian hakim dalam beberapa yurisprudensi dirasa Penulis menarik dibahas dalam tulisan Premium Stories kali ini.