Mendorong Penghapusan Fraksi di DPR Akibat Ketidakmaksimalan Fungsi Legislatif
Terbaru

Mendorong Penghapusan Fraksi di DPR Akibat Ketidakmaksimalan Fungsi Legislatif

Dengan cara mengubah keempat kalinya UU MD3 serta membongkar semua kerangka hukum yang terkait dengan cara pengambilan keputusan di DPR.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi sidang paripurna DPR. Foto: RES
Ilustrasi sidang paripurna DPR. Foto: RES

Ketidakmampuan dalam menjalankan fungsi legislasitif dalam kerja-kerja di parlemen mendorong munculnya gagasan menghapus fraksi di DPR. Keberadaan fraksi di DPR dinilai membuat kamar legislatif menjadi tak berdaya dan hanya menjadi alat kepentingan politik ketua umum partai politik dan elit-elit politik lainnya.

Hal itu disampaikan Mantan Wakil Ketua DPR periode 2014-2019 Fahri Hamzah dalam sebah webinar bertajuk “Reformasi Sistem Politik, Mengapa Fraksi di DPR Sebaiknya Dihapus?’, Rabu (12/1. “Jadi bukan berpikir untuk rakyat atau konstituen. Jadi berbicara reformasi politik, menghapus fraksi di DPR di antara yang paling penting kita lakukan karena berbagai atau banyak alasan, antara lain kekuatan di kamar kekuasaan legislatif tidak nampak fungsinya,” katanya.

Menghilangkan fraksi DPR secara tak langsung mengubah sistem ketatanegaraan maupun keterwakilan partai di parlemen. Dalam sistem demokrasi, seorang anggota dewan harus menjadi wakil rakyat, bukan malah wakil partai politik.

Menurut Fahri, cara pandang anggota dewan merupakan wakil dari partai politik menjadi berbahaya jika belangsung berkepanjangan. Dia berpendapat adanya kekeliruan paradigma memandang peran partai politik dalam fraksi di parlemen.  Baginya, ketika memilih sistem demokrasi, maka menjadi keharusan memurnikan demokrasi secara utuh mulai sistem pemilu dan perwakilan di parlemen. (Baca: Sepanjang 2021 Pemerintah-DPR Hanya ‘Cetak’ 8 UU)

Pria yang kini menjabat Wakil Ketua Umum Partai Gelora itu berpendapat, keberadaan fraksi memunculkan kelompok orang-orang di balik layar yang menyetir parlemen. Walhasil, hubungan antara eksekutif dan legislatif menjadi tidaklah sehat. Fungsi kontrol legislatif terhadap eksekutif tak berjalan maksimal. Bahkan ketidaksehatan hubungan legislatif dan eksekutif berpotensi dapat menginvansi yudikatif.

“Di tradisi demokrasi, perannya negara totaliter itu, partai politik adalah negara itu sendiri. Makanya hampir tidak ada jarak dengan partai politik dengan jabatan publik. Artinya sehari-hari mereka lebih nampak sebagai wakil partai politik. Karena itu lah reformasi politik perlu dilakukan," imbuhnya. 

Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera Indonesia, Bivitri Susanti, berpandangan, keberadaan fraksi membuat kecemasan bagi banyak kalangan. Berdasarkan hasil riset yang dilakukannya, memunculkan temuan ketua fraksi atau ketua kelompok fraksi di komisi-komisi memiliki kekuatan menyakinkan seseorang untuk memenangi berbagai 'pertarungan' di parlemen.

Tags:

Berita Terkait