Menemukan Tafsir Legalitas Seks Bebas dalam Permendikbudristek 30/2021
Kolom

Menemukan Tafsir Legalitas Seks Bebas dalam Permendikbudristek 30/2021

Consent dalam Permendikbudristek itu jangan dipandang sempit sehingga menimbulkan kesalahan persepsi.

Bacaan 6 Menit
Agung Pramono. Foto: Istimewa
Agung Pramono. Foto: Istimewa

Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 disahkan oleh Menteri Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021 dan diundangkan pada 3 September 2021. Keberadaan peraturan menteri ini mendapat kritik dari banyak pihak, bahkan menjadi polemik karena dianggap memasukkan hal-hal yang berlawanan dengan etika, agama dan budaya.

Kekerasan seksual dirangkaikan dengan frasa "tanpa persetujuan korban" sebagaimana dalam Pasal 5 yang membentuk opini terbatas, sempit dan secara psikis menjadi pokok perdebatan. Demikian juga dengan ayat (3) pasal yang sama bila dipahami secara keliru maka seolah menggugurkan ketentuan lainnya.

Consent tersebut dipahami melegalkan seks bebas dan perilaku menyimpang LGBT di lingkungan kampus asalkan dilakukan dengan persetujuan dan suka sama suka, dan menjustifikasi parameter integritas peraturan menteri tersebut hanya pada persetujuan para pihak, sehingga keluar dari nilai agama dan moralitas. Intinya, peraturan menteri tersebut menimbulkan kesan legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas dengan berbasis pada consent atau persetujuan dari para pihak yang terlibat.

Meluruskan Persepsi

Pelaksana tugas (Plt.) DirJen Dikti Ristek, Prof Nizam, mengatakan anggapan itu timbul karena kesalahan persepsi. Karena rancangannya adalah untuk meningkatkan keamanan lingkungan kampus dari kekerasan seksual dan mempertajam literasi masyarakat umum akan batas-batas etis berperilaku di lingkungan Perguruan Tinggi, serta konsekuensi hukumnya.

Consent dalam isi beleid tersebut mengacu pada unsur pemaksaan terkait suatu tindak kekerasan dengan merujuk pada KBBI yang mana kekerasan adalah sesuatu yang dipaksakan atau ada unsur pemaksaan. Jadi, kata consent tersebut dalam konteks unsur pemaksaan, dalam hal ini terutama dalam relasi kuasa dan/atau gender.

  1. Tholabi Kharlie, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta berpendapat bahwa frasa "tanpa persetujuan korban" jangan dipandang sempit sekadar hubungan yang tanpa ikatan sah karena bisa jadi merupakan "kejahatan seksual" yang saat itu disetujui oleh korban, yang di kemudian hari akan menjadi penyesalan dan trauma.

Kemudian Abdul Fickar Hadjar, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti turut berpendapat dari aspek hukum acara pidana yang mana peraturan menteri tersebut tak dapat mengatur fungsi penindakan dan tidak sampai pada ranah sanksi pidana. Menurutnya, perguruan tinggi memiliki misi pendidikan, namun ketika ada pelanggaran, maka kampus pun memiliki misi penegakan hukum.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait