MK: Kewenangan Polisi Berhentikan Orang untuk Periksa Identitas Konstitusional
Utama

MK: Kewenangan Polisi Berhentikan Orang untuk Periksa Identitas Konstitusional

Persoalan yang para Pemohon dalilkan bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan implementasi dari norma Pasal 16 ayat (1) huruf d UU Polri.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 3 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Pasal 16 ayat (1) huruf d UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (UU Polri) terkait kewenangan kepolisian memberhentikan orang untuk memeriksa identitas diri. Dengan begitu, kewenangan aparat kepolisian memberhentikan orang yang dicurigai untuk memeriksa identitasnya tetap kontitusional. Permohonan ini diajukan oleh Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga.

“Amar putusan mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan putusan bernomor 60/PUU-XIX/2021 di ruang sidang MK, Selasa (25/1/2022) seperti dikutip laman MK.

Pasal 16 ayat (1) huruf d UU Kepolisian selengkapnya berbunyi, “Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk: d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri”.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat tidak adanya batasan kewenangan kepolisian yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UU Polri bukanlah menjadi penyebab oknum kepolisian melakukan tindakan yang merendahkan martabat dan kehormatan orang lain. Persoalan yang para Pemohon dalilkan bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan implementasi dari norma Pasal 16 ayat (1) huruf d UU Polri.

Bagi Mahkamah, persoalan implementasi norma terkait dengan tayangan kegiatan kepolisian yang marak di media massa, telah memiliki batasan yang jelas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, kode etik profesi, serta peraturan pelaksana lainnya. “Oleh karena itu, baik aparat kepolisian maupun media massa diharapkan dapat selalu berhati-hati dalam menjalankan tugas dan fungsinya agar tetap dalam koridor yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) dan mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku,” demikian bunyi pertimbangan Mahkamah.

Dengan demikian, menurut Mahkamah, Pasal 16 ayat (1) huruf d UU Polri adalah norma yang konstitusional. Kekhawatiran para Pemohon berkenaan adanya tindakan merendahkan harkat dan martabat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dan kekhawatiran akan diperlakukan semena-mena sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 merupakan persoalan implementasi norma a quo, bukan persoalan inkonstitusionalitas norma.

Sebelumnya, dalam permohonannya, para Pemohon mendalilkan telah timbul rasa kekhawatiran dan ketakutan ketika melakukan aktivitasnya. Kemudian diberhentikan oleh petugas kepolisian guna pemeriksaan identitas atau tanda pengenal diri sebagaimana diatur pasal tersebut. Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga menjelaskan kedudukan hukum sebagai perorangan warga negara Indonesia yang melakukan aktivitas sehari-hari di luar rumah. Para Pemohon berpotensi diperiksa oleh aparat kepolisian guna melakukan pengecekan identitas pribadi sesuai dengan amanat Pasal 16 ayat (1) huruf d UU Kepolisian.

Tags:

Berita Terkait