Organisasi Disabilitas Sasaran Empuk Pelaku Penggelapan dan Korupsi
Terbaru

Organisasi Disabilitas Sasaran Empuk Pelaku Penggelapan dan Korupsi

Untuk menghilangkan praktik korupsi dalam organisasi harus ada pendidikan yang mendalam dan berulang mengenai penggelapan dan korupsi.

Oleh:
CR-27
Bacaan 4 Menit

Di mata masyarakat, organisasi disabilitas masih menjadi stereotip sebagai organisasi yang lemah dan orang dengan disabilitas adalah orang-orang yang lemah, sehingga ini mendorong adanya penggelapan dan korupsi di organisasi. Banyak pihak-pihak yang menggunakan keberadaan organisasi ini untuk keuntungan sendiri seperti pencucian uang, memperkaya kelompok tertentu karena pengurus seringkali berpikir untuk selalu mengikuti kemauan donator selama pemasukan untuk organisasi berjalan lancar.

Dewan pengurus Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), Joni Yulianto, menyebutkan bahwa kerentanan di dalam organisasi penyandang disabilitas ini menyebabkan rendahnya akses, partisipasi dan kontrol.

Menurutnya, difabel terikat erat dengan kemiskinan, di mana kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan disabilitas dekat dengan kemiskinan. “Saat ini ukuran kemiskinan kita dilihat dari kepemilikan harta, sedangkan saat kita membicarakan difabel maka di sana ada extra cost karena ia harus membayar hal lebih untuk beberapa hal seperti transportasi dan kebutuhan terapi,” ujarnya.

Survey SIGAB mengenai dampak Covid-19 bagi difabel pada tahun 2020-2021 menyatakan bahwa program bantuan sosial hanya menyasar sebanyak 40%-50% difabel dengan kategori miskin.

Kaum difabel yang diposisikan sebagai subjek belas kasihan, menjadikan perilaku koruptif terhadap difabel sering terjadi. Koruptif kemudian tidak hanya dari sisi finansial, bahkan institusi yang seharusnya memberdayakan penyandang disabilitas akhirnya tumbuh dan berkembang tidak memberikan hak penyandang disabilitas sehingga hal itu dianggap sebagai kelaziman.

“Inilah yang kemudian sangat sulit memperkenalkan praktik korupsi sebagai sebuah pelanggaran dan hal yang bertentangan dengan nilai-nilai. Korupsi ini kemudian menjadi budaya, makanya tidak heran kalau di organisasi penyandang disabilitas ada fenomena seperti ini. Hal ini terjadi karena adanya siklus yang membuatnya terbentuk dan ini harus diurai dan dihentikan,” tegasnya.

Joni juga menjabarkan beberapa hal spesifik terkait bantuan difabel dan upaya dalam melindungi difabel untuk meminimalkan ruang-ruang korupsi.

“Jalur bantuan distribusi untuk penyandang disabilitas perlu dipangkas untuk tujuan memperkuat akses dan kontrol difabel serta meminimalkan ketergantungan penyandang disabilitas terhadap pihak ketiga. Penyandang disabilitas bisa memanfaatkan teknologi seperti uang elektronik sehingga penyandang disabilitas mempunyai akses langsung serta punya kontrol langsung terhadap bantuan-bantuan yang diterimanya,” jelasnya.

Perlunya edukasi mengenai korupsi dan praktiknya dalam bantuan sosial dan pelayanan publik, serta harus adanya sistem pengaduan yang terbuka, aman, aksesibel dan dekat dengan penyandang disabilitas bisa menjadi langkah awal dalam penghalang perilaku koruptif.

“Bantuan yang menjadi objek untuk dikorupsi menjadi penting untuk lebih diperhatikan, serta harus adanya perubahan orientasi dalam pemberian bantuan sosial kepada penyandang disabilitas, bentuk-bentuk bantuan terhadap penyandang disabilitas tersebut harus berorientasi pada peningkatan terhadap akses, partisipasi dan kontrol,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait