Pasca-Putusan MK Soal UU Ciptaker: Uji Formil Jadi Cara Kontrol Pembuatan UU
Utama

Pasca-Putusan MK Soal UU Ciptaker: Uji Formil Jadi Cara Kontrol Pembuatan UU

Putusan MK terkait uji formil UU Cipta Kerja harus jadi perhatian semua pihak.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 6 Menit

Kedua, penggunaan batu uji masih terbatas.Selain konstitusi, batu uji yang digunakan dalam pengujian formil ialah undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dan peraturan tata tertib lembaga pembentuk undang-undang. Sebab proses pembentukan undang-undang memang tidak diatur secara rinci dalam UUD 1945.

Dalam praktik, keterbatasan pengaturan menyebabkan Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran konstitusi yang juga terbatas. Tak jarang, dalil permohonan pemohon terpatahkan dengan penilaian Mahkamah Konstitusi bahwa pembentuk undang-undang telah membentuk undang-undang sesuai dengan konstitusi, karena hanya melihat prosedur yang diatur hanya prinsip-prinsipnya di dalam konstitusi.

Padahal justru peran Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi menuntut MK untuk melihat konstitusi secara luas, melampaui teks yang tertulis. Penggunaan konstitusi sebagai batu uji tidak bisa dibatasi pada sejumlah pasal, tetapi juga menjadikan nilai-nilai konstitusional (constitutional values) dan prinsip-prinsip dasar (basic principles) sebagai panduan dan acuan untuk menilai norma dan tindakan dalam proses pembentukan norma.

 Selain itu, UUD 1945 harus disadari bukan saja merupakan “the supreme source of law,” tetapi juga merupakan “the supreme source of ethics” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, UUD 1945 bukan saja merupakan hukum yang tertinggi, tetapi juga etika yang tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang salah satu penjabarannya tertuang dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang sampai sekarang masih sah berlaku secara hukum.

Karena itu, etika konstitusi (constitutional ethics) harus dilihat juga sebagai sumber rujukan konstitusional yang sah untuk menilai proses pembahasan dan pengesahan undang-undang.

Ketiga, Mahkamah Konstitusi lebih mengedepankan asas kemanfaatan daripada asas keadilan dan kepastian hukum, dalam konteks tiga pertimbangan asas dari Gustav Radbruch (1932) yang kerap digunakan dalam penalaran hukum.

Asas kemanfaatan ini pernah digunakan MK dalam memutus perkara pengujian formil No. 27/PUU-VII/2009 tentang pengujian Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA). Menurut pandangan Mahkamah Konstitusi, meskipun terdapat cacat prosedural dalam pembentukan UU MA, tetapi secara materil UU MA tidak menimbulkan persoalan hukum.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait