Pemilihan Presiden Langsung Penuh Konsesi Politik
Berita

Pemilihan Presiden Langsung Penuh Konsesi Politik

Jakarta, Hukumonline Usulan pemilihan presiden langsung akan disodorkan dalam Sidang Tahunan MPR. Namun, alternatif pemilihan presiden melalui MPR yang diusulkan oleh Fraksi Reformasi dinilai penuh konsesi politik.

Oleh:
Inay/APr
Bacaan 2 Menit
Pemilihan Presiden Langsung Penuh Konsesi Politik
Hukumonline

Smita Notosusanto, Koordinator Pusat Reformasi Pemilu (CETRO) melihat bahwa usul Fraksi Reformasi tidak menjamin rakyat benar-benar pilihan rakyat. Pasalnya, dalam usulan presiden langsung itu, presiden dan wakil presidan disaring lebih dulu sebelum dipilih rakyat.

Usulan Fraksi Reformasi ini berbeda dengan Fraksi PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan Fraksi Partai Golkar yang mengusulkan agar pemilihan presiden benar-benar dipilih langsung dari bawah oleh rakyat.

Sementara di kubu lain yang berbeda, Fraksi PDIP dan Utusan Golongan tidak setuju dengan pemilihan presiden langsung. Usulan kedua fraksi ini berdasar pada pasal 6 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden ada di tangan MPR.

Dari berbagai usulan ini, agaknya Fraksi Reformasi mengambil jalan tengah itu. Belakangan, Fraksi Golkar juga memberikan dukungan kepada usulan Fraksi Reformasi. Sementara F PKB kelihatannya tetap memperjuangkan usulannya.

Konsesi politik

Pada saat CETRO mengusulkan pemilihan presiden langsung pada PAH I pada awal Juli 2000, ada 8 fraksi yang setuju. Hanya Fraksi PDIP, Fraksi TNI/POLRI dan Fraksi Utusan Golongan yang tidak setuju.

Namun dalam perkembangannya setelah pertemuan 20 Juli 2000 di Hotel Sheraton Bandara, tiba-tiba 6 fraksi yang dimotori oleh Fraksi Reformasi dan diarsiteki oleh Fuad Bawazier mengusulkan agar pemilihan presiden langsung, calonnya ditentukan dulu oleh MPR sebanyak dua paket. Mekanismenya melalui semacam fit and proper test oleh MPR, baru kemudian kedua calon tersebut dipilih oleh masyarakat.

Setelah Fraksi Partai Golkar ikut mendukung usulan Fraksi Reformasi, akhirnya hanya Fraksi PKB yang tetap mengusulkan pemilihan presiden langsung. Pasalnya, PKB tidak mengetahui adanya kesepakatan di Hotel Sheraton karena waktu itu mereka sudah berangkat ke muktamar PKB di Surabaya.

Smita mencurigai adanya konsensi-konsesi politik dan kompromi-kompromi tertentu di balik kesepakatan di Hotel Sheraton tersebut, sehingga fraksi-fraksi tersebut bisa berbalik sikap. Indikasi hal tersebut adalah setelah tanggal 20 Juli tersebut Fraksi TNI/Polri diusulkan untuk tetap masuk di MPR untuk waktu yang tidak ditentukan. Usul ini akan dimasukkan dalam aturan peralihan UUD 1945.

Smita menilai dimasukkannya Fraksi TNI/Polri di MPR ini merupakan pengkhianatan reformasi. Pasalnya salah satu agenda reformasi adalah menghapuskan keberadaan TNI/Polri di parlemen. "Mengapa sekarang malah akan dilembagakqan dalam UUD," ujarnya.

Hamdan Zoelva, anggota PAH I dari Fraksi Partai Bulan Bintang (F PBB) membantah adanya konsesi-konsesi politik yang mempengaruhi partai-partai tersebut untuk mengambil alternatif yang diusulkan Fraksi Reformasi. Ia menyatakan bahwa tadinya memang ada banyak fraksi yang mengusukan pemilihan presiden langsung.

Namun kemudian disadari bahwa dengan pemilihan presiden langsung, calon yang akan terpilih harus memperoleh suara mayoritas. Padahal seperti pemilu kemarin, pemenang pemilu hanya mendapat 30% suara. Jika hanya diambil suara terbanyak atau simple majority, legitimasi presiden itu akan dipermasalahkan karena hanya dipilih oleh sejumlah kecil rakyat.

Dua putaran

Menurut Hamdan, untuk menghindari hal tersebut, pemilihan harus dilakukan dalam dua putaran. Namun, pemilihan dalam dua putaran akan menimbulkan dua masalah. Pertama, biaya yang dibutuhkan akan sangat besar. Kedua, pemilihan dua putaran akan memperpanjang ketidakstabilan dalam politik. Pasalnya, dari putaran pertama ke putaran kedua akan ada jangka waktu paling tidak tiga bulan, sehingga harus menunggu lagi.

Namun Smita membantah argumen pemilihan langsung dengan dua putaran akan memakan biaya besar. Karena ia melihatnya, yang harus diperhatikan biaya ekonomi secara keseluruhan. "Justru sekarang biaya ekonomi yang dibutuhkan sangat mahal karena tidak ada prediktabilitas dalam perekonomian kita."

Menurut Smita, jika presiden dipilih langsung, kita akan tahu siapa paket presiden dan wakil presiden tersebut dan siapa tim ekonominya, serta bagaimana garis kebijakan ekonominya, sehingga semuanya bisa diprediksi semenjak awal.

Hamdan berpendapat bahwa perlu diambil jalan tengah. Pasalnya, sebagian besar fraksi juga tidak setuju dengan usul PDIP yang mengusulkan agar setiap partai politik (parpol) sebelum pemilu mengusulkan calon presiden dan wakil presidenn. Dua calon presiden pemenang pemilu akan dipilih salah satunya di MPR. Siapa yang mendapat suara terbanyak akan dipilih menjadi presiden.

Hamdan berpendapat, usul Fraksi Reformasi tersebut dianggap sebagai jalan tengah. Karena menurut usul tersebut, MPR menetapkan dulu dua calon presiden, baru kemudian dari kedua calon tersebut akan dipilih oleh rakyat.

Selain karena alasan biaya dan ketidakstabilan politik, menurut Hamdan, perlu dipertimbangkan keadaan Indonesia yang negaranya luas, penduduknya banyak, pendapatan perkapita dan GDP-nya masih kecil. "Tidak bisa jika dibandingkan dengan Filipina," katanya.

Hamdan juga menyoroti perlunya MPR melakukan negosiasi-negosiasi untuk dapat melangkah lebih jauh. Jika tetap ada tiga alternatif dan masing-masing ngotot pada alternatifnya, bisa-bisa akan kembali ke pasal UUD yang lama. Dan bilka tidak tercapai kuorum 2/3, harus mengganti pasal pemilihan presiden tersebut.

 

 

Tags: