Perjanjian Pranikah: Pengertian, Tujuan, Isi, dan Larangan
Terbaru

Perjanjian Pranikah: Pengertian, Tujuan, Isi, dan Larangan

Perjanjian pranikah adalah perjanjian yang dibuat menjelang atau saat pernikahan berlangsung. Berikut paparan selengkapnya.

Oleh:
Tim Hukumonline
Bacaan 4 Menit
  1. Bantuan pihak objektif

Mintalah bantuan pada pihak berwenang dengan reputasi yang baik dan bisa menjaga objektivitas perjanjian yang dibuat sehingga isinya dibuat adil bagi kedua belah pihak.

  1. Dibuat oleh notaris

Perjanjian pranikah sebaiknya tidak dibuat tangan semata, namun disahkan di notaris. Setelah jadi, perjanjian harus dicatatkan atau disahkan pula oleh pegawai KUA dan catatan sipil.

Isi Perjanjian Pranikah yang Dilarang Hukum

Meski isi perjanjian pranikah tidak diatur secara spesifik, KUH Perdata mengatur sejumlah hal yang dilarang dalam sebuah perjanjian pranikah. Adapun hal-hal atau ketentuan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

  1. Tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum

Hal ini sebagaimana diterangkan Pasal 139 KUH Perdata yang menyatakan bahwa para calon suami istri dengan perjanjian perkawinan dapat menyimpang dari peraturan undang-undang mengenai harta bersama asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang baik, tata tertib umum, dan sejumlah ketentuan yang berlaku.

  1. Tidak boleh mengurangi hak suami

Hal ini sebagaimana diterangkan Pasal 140 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian perkawinan tidak boleh mengurangi hak-hak suami, baik sebagai suami, sebagai ayah, sebagai kepala rumah tangga, dan hak-hak lain sebagaimana diatur dalam undang-undang.

  1. Tidak boleh mengatur warisan

Hal ini sebagaimana diterangkan Pasal 141 KUH Perdata bahwa para calon suami istri dalam perjanjian tersebut tidak boleh melepaskan hak atas warisan keturunan mereka pun tidak boleh mengatur warisan itu.

  1. Tidak boleh berat sebelah dalam hal utang

Hal ini sebagaimana diterangkan Pasal 142 KUH Perdata bahwa mereka (para calon suami istri) tidak boleh membuat perjanjian yang membuat salah satu pihak mempunyai kewajiban utang lebih besar daripada bagiannya dalam keuntungan-keuntungan harta bersama.

  1. Tidak boleh menggunakan hukum “asing” sebagai dasar hukum perkawinan

Hal ini sebagaimana diterangkan Pasal 143 KUH Perdata bahwa mereka (para calon suami istri) tidak boleh membuat perjanjian dengan kata-kata sepintas, bahwa ikatan perkawinan mereka akan diatur oleh undang-undang, kitab undang-undang luar negeri; atau oleh beberapa adat kebiasaan, undang-undang, kitab undang-undang atau peraturan daerah, yang pernah berlaku di Indonesia.

Simak ulasan hukum premium dan temukan koleksi lengkap peraturan perundang-undangan Indonesia, versi konsolidasi, dan terjemahannya, serta putusan dan yurisprudensi, hanya di Pusat Data Hukumonline. Dapatkan akses penuh dengan berlangganan Hukumonline Pro Plus sekarang!

Tags:

Berita Terkait