Perlindungan Hukum Korban Bencana Banjir Belum Maksimal
Berita

Perlindungan Hukum Korban Bencana Banjir Belum Maksimal

Korporasi dapat berperan membantu rehabilitasi. Sebaliknya, tanggung jawab korporasi dapat berubah menjadi tanggung pidana.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 3 Menit
Banjir di Kalimantan Selatan. Sumber foto: BNPB
Banjir di Kalimantan Selatan. Sumber foto: BNPB

Sejumlah wilayah Indonesia sedang dilanda banjir. Banjir tidak hanya menyebabkan warga mengungsi, peralatan rumah tangga dan fasilitas umum rusak, tetapi juga menimbulkan korban jiwa dan kerugian yang nilainya tidak sedikit. Beberapa wilayah, misalnya Kalimantan Selatan, malah mengalami banjir parah sebagai konsekuensi curah hujan tinggi dan kerusakan bentang alam akibat deforestasi dan degradasi hutan. Relawan dan petugas berjibaku menyelamatkan warga korban bencana banjir.

Berkaca dari penanganan korban bencana bajir di Kalimantan Selatan, Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Daddy Fakhmanadie, berpendapat perlindungan terhadap korban banjir belum maksimal dilakukan, termasuk perlindungan hukum. Warga yang menjadi korban banjir memiliki hak-hak yang dilindungi oleh hukum. Bukan hanya mendapatkan rasa aman dari ancaman bencana, tetapi juga mendapatkan informasi yang benar mengenai tempat perlindungan dan informasi mengenai hak-hak hukum korban ketika berada di tempat pengungsian.

Daddy Fakhmanadie secara khusus menyoroti petani Kalimantan Selatan yang menjadi korban banjir. Perlindungan kepada petani perlu dipikirkan mengingat kontribusi mereka pada ketersediaan pangan nasional. Ratusan hektare lahan pertanian terendam banjir di Kalimantan Selatan dan daerah lain, sehingga penting dipikirkan langkah perlindungan kepada mereka pascabencana. Dedi –begitu dosen fakultas hukum itu disapa, menunjuk perlindungan yang diamanatkan UU No. 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pangan Pertanian Berkelanjutan, dan UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. “Ganti rugi dan rehabilitasi lahan pertanian merupakan hak korban terdampak,” ujarnya dalam diskusi yang diselenggarakan Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia (APVI), Sabtu (6/2/2021).

(Baca juga: Melihat Bencana Alam dari Perspektif Hukum).

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Aliyth Prakarsa, lebih melihat pentingnya perlindungan bagi anak-anak korban bencana. Selain kebutuhan dasar sandang, pangan, dan papan, anak-anak membutuhkan bantuan psikososial. Pasal 53 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sudah menyebutkan penyediaan layanan psikososial. UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak secara khusus juga disinggung perlindungan anak yang berada dalam situasi darurat. Kewajiban memberikan perlindungan itu ada di pundak pemerintah.

Banjir juga berpotensi merusak dokumen-dokumen hukum yang dimiliki warga baik yang berkaitan dengan administrasi kependudukan maupun dokumen tanah dan riwayat pendidikan. Warga yang menjadi korban kehilangan dokumen semacam itu akibat banjir perlu mendapatkan pelayanan publik yang baik.

Jika tidak mendapatkan pelayanan yang baik, dan hak-hak mereka diabaikan, warga korban banjir dapat menempuh upaya hukum berupa class action. Langkah ini dapat ditempuh sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. “Gugatan class action oleh warga korban banjir dapat saja dilakukan asalkan ada kelalain pemerintah daerah dalam penanggulangan, penanganan, dan pemenuhan hak korban banjir,” ujarnya.

Langkah hukum seperti disebut Dedi bukan tidak pernah dilakukan. Warga DKI Jakarta, misalnya, sudah berkali-kali melayangkan gugatan akibat banjir. Terakhir, di awal tahun ini, PN Jakarta Pusat memutuskan menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan class action warga atas banjir di DKI Jakarta tahun 2020.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait