Polemik Tuntutan Hukuman Mati Terhadap Kejahatan Seksual
Terbaru

Polemik Tuntutan Hukuman Mati Terhadap Kejahatan Seksual

Realitanya, hukuman mati masih diakui dalam hukum positif. Bahkan ditegaskan dalam putusan MK No.2 dan 3/ PUU-V/2007.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi eksekusi hukuman mati
Ilustrasi eksekusi hukuman mati

Rekuisitor terhadap terdakwa Herry Wirawan dengan tuntutan hukuman mati menimbulkan polemik di kalangan parlemen dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Silang pendapat terjadi di ruang publik. Masing-masing pihak memiliki argumentasi. Lantas bagaimana pandangan sejumlah pihak terkait tuntutan hukuman mati terhadap pelaku rudapaksa di Bandung.

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara secara tegas menolak penerapan hukuman mati terhadap siapapun. Termasuk tuntutan hukuman mati bagi Herry Wirawan pelaku rudapaksa terhadap 13 orang santriwati di Bandung Jawa Barat. Namun dia menggarisbawahi penolakan hukuman mati tak berarti ingin melindungi pelaku. Dia mengecam keras perbuatan yang dilakukan Herry Wirawan.  

“Komnas HAM setuju pelaku dihukum berat, tetap bukan harus dengan hukuman mati,” ujarnya pekan lalu. (Baca Juga: Pemerkosa 13 Santri Dituntut Mati, Kajati Jawa Barat: Ini Kejahatan Serius)

Dia menilai jaksa dalam rekuisitornya dapat saja menuntut Herry dengan hukuman maksimal berupa kurungan penjara seumur hidup untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Penolakan penerapan hukuman mati merujuk pada hak hidup yang menjadi salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar. Dalam situasi apapun hak hidup tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Berdasarkan alasan itulah Komnas HAM menentang penerapan hukuman mati.

Sementara hukuman kebiri pun, Komnas HAM menolaknya. Sebab, penerapan hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual dipandang tak manusiawi, sehingga perlu pilihan hukuman lain. Komisioner Bidang Pemantauan/Penyelidikan Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam memberi alasan penolakan penerapan hukuman kebiri kimia terhadap Herry Wirawan. “Ini tidak sesuai dengan prinsip HAM dan semangat perubahan hukum di kita,” ujarnya.

Wakil Ketua MPR Arsul Sani berpandangan penerapan hukuman mati dalam hukum positif bersifat konstitusional. Hal ini ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.2 dan 3/PUU-V/2007 yang menguji UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Selain itu, MPR sebagai lembaga tinggi negara pembuat UUD Tahun 1945, menempatkan pemahaman terhadap Pasal 28A dan 28I ayat (1) tak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 28J UUD Tahun 1945. “Ini bisa dirujuk dalam risalah pembahasan amendemen UUD,” kata dia.

Selain itu, Anggota Komisi III DPR ini merujuk Pasal 6 International Covenant on Civil and Political Rights(Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik) yang telah diratifikasi dengan UU No.12 Tahun 2005 pun membuka peluang penjatuhan hukuman mati bagi kejahatan sangat serius.

Tags:

Berita Terkait