Dalam hukum acara perdata Indonesia dimungkinkan bagi pihak ketiga yang kepentingannya dilanggar untuk melakukan perlawanan atau bantahan atas penetapan sita eksekutorial. Adapun perlawanan atau bantahan dari pihak ketiga dalam hukum acara perdata disebut dengan istilah derden verzet. Bagaimanakah putusan hakim dalam upaya hukum perlawanan pihak ketiga ini atau derden verzet? Apa dasar hukumnya? Dan bagaimana dalam praktiknya?
Secara umum istilah verzet diartikan perlawanan. Perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan. Verzet tergolong upaya hukum biasa yang sifatnya menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara. Selain verzet yang termasuk upaya hukum biasa adalah banding dan kasasi. Lebih khusus lagi, istilah verzet dalam Hukum Acara Perdata merupakan suatu upaya hukum terhadap putusan verstek (putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat).
Upaya hukum menurut Sudikno Mertokusumo dalam buku “Hukum Acara Perdata Indonesia” menjelaskan upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan. Upaya hukum ialah suatu upaya yang diberikan oleh undang-undang bagi seseorang maupun badan hukum dalam hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai suatu tempat bagi para pihak yang tidak puas atas adanya putusan hakim yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan, karena hakim itu juga seorang manusia yang bisa secara tidak sengaja melakukan kesalahan yang dapat menimbulkan salah mengambil keputusan atau memihak kepada salah satu pihak.
Yahya Harahap dalam Bukunya berjudul “Hukum Acara Perdata”, menyebut derden verzet (perlawanan pihak ketiga) merupakan upaya hukum atas penyitaan milik pihak ketiga. Dalam praktik, penggugat selalu mengajukan keberatan atas penyitaan yang diletakkan terhadap harta kekayaannya dengan dalih barang yang disita adalah milik pihak ketiga. Dalil dan keberatan itu kebanyakan tidak dihiraukan pengadilan atas alasan sekiranya barang itu benar milik pihak ketiga, dia dapat mengajukan keberatan melalui upaya derden verzet.