Walhi Kaltim Beberkan 3 Persoalan dalam RUU Ibu Kota Negara
Terbaru

Walhi Kaltim Beberkan 3 Persoalan dalam RUU Ibu Kota Negara

Berpotensi mengulang kesalahan, seperti saat pembahasan RUU Cipta Kerja karena tidak ada partisipasi publik yang bermakna. Penetapan Ibu Kota Negara berpotensi memunculkan dampak negatif terhadap masalah sosial dan lingkungan, sehingga layak dihentikan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Perwakilan pemerintah saat menyerahkan Surpres RUU IKN kepada pimpinan DPR, Rabu (29/9/2021) lalu. Foto: RFQ
Perwakilan pemerintah saat menyerahkan Surpres RUU IKN kepada pimpinan DPR, Rabu (29/9/2021) lalu. Foto: RFQ

Pembahasan RUU Ibu Kota Negara (RUU IKN) terus berproses di DPR. Saat ini, RUU IKN masuk dalam pembahasan tim perumus (Timus). Diharapkan pekan depan bisa digelar rapat kerja antara Pansus dengan pemerintah untuk menjadwalkan pembahasan.  

“Jadi disitu ada proses pengambilan keputusan tingkat pertama terkait dengan RUU IKN. Diharapkan Januari ini RUU IKN sudah bisa disahkan,” ujar Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU IKN, Saan Mustopa sebagaimana dikutip laman dpr.go.id, Rabu (12/1/2022).

Direktur Walhi Kalimantan Timur, Yohana Tiko, menilai RUU IKN berpotensi cacat formil dan materil. Proses pembahasan RUU IKN dilakukan dengan cepat dan dipaksakan, seperti halnya RUU Cipta Kerja. Dia melihat pembahasan RUU IKN tidak mematuhi prinsip partisipasi publik yang bermakna.

“Tidak melibatkan semua unsur masyarakat, baik petani, nelayan, masyarakat hukum adat, perempuan, dan organisasi masyarakat sipil,” kata Yohana Tiko ketika dikonfirmasi, Kamis (13/1/2022). (Baca Juga: DPR Bakal Mulai Membahas RUU Ibu Kota Negara)

Menurutnya, materi muatan RUU IKN berpotensi menimbulkan persoalan lingkungan dan sosial. Yohana mencatat sedikitnya ada 3 persoalan terkait substansi RUU IKN. Pertama, rentan konflik sosial mengingat ada 26 desa dan kelurahan di kecamatan Sepaku; 23 desa dan kelurahan di kecamatan Samboja; 8 desa dan kelurahan di kecamatan Muara Jawa; serta 15 desa dan kelurahan di Loa Kulu. Sebab, berbagai tempat itu akan terdampak proyek IKN.

Pemerintah berencana memindahkan lebih dari 7 ribu pegawai lembaga negara dan pemerintahan ke IKN baru. Perpindahan itu akan menekan populasi masyarakat yang sebelumnya sudah bertempat tinggal di sana. Yohana tidak melihat langkah pemerintah untuk mengantisipasi potensi konflik sosial akibat perpindahan dan penambahan penduduk itu. Padahal, dokumen kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) yang diterbitkan pemerintah sudah melihat adanya potensi konflik tersebut.

Kedua, pemutihan tanggung jawab korporasi dan sarat kepentingan politik. Yohana mencatat di lokasi IKN seluas 180 ribu hektar terdapat 162 konsesi tambang, kehutanan, perkebunan sawit, dan PLTU batu bara. Luas IKN itu belum termasuk 7 proyek properti di kota Balikpapan. Ada juga konsesi kehutanan dan 94 lubang bekas tambang batu bara yang tersebar di kawasan IKN.

Tags:

Berita Terkait