Materi Amandemen Pasal 29 UUD 1945 Bakal Diwarnai Perdebatan
Berita

Materi Amandemen Pasal 29 UUD 1945 Bakal Diwarnai Perdebatan

Jakarta, Hukumonline. Materi amandemen Pasal 29 UUD 1945 tentang Agama agaknya bakal diwarnai perdebatan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan melalui voting terhadap materi amandemen UUD 1945 yang telah disiapkan oleh Badan Pekerja (BP) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR.

Oleh:
APr
Bacaan 2 Menit
Materi Amandemen Pasal 29 UUD 1945 Bakal  Diwarnai Perdebatan
Hukumonline

Fraksi PDI kembali menegaskan akan menolak amandemen terhadap UUD 1945. Sikap ini disampaikan oleh Fraksi PDI pada jumpa pers di akhir pekan lalu. Alasannya, amandemen Pasal 29 UUD 1945 akan memungkinkan negara kesatuan RI menjadi negara agama.

Josef Umarhadi dari Fraksi PDI melihat mereka yang berkeinginan perubahan secara hukum itu tidak memiliki kepastian. "Pasal tersebut sangat mudah dipolitisasi," cetusnya. Oleh karena itu F-PDIP tidak akan mengubah Pasal 29 UUD 1945. Selain F-PDI (185 anggota), Fraksi TNI/Polri (38 anggota), dan F-KKI (13 orang) juga tidak setuju dengan amandemen Pasal 29 UUD 1945.

Bunyi Pasal 29 UUD 1945 adalah ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat (2) berbunyi, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Piagam Jakarta

Pada Rancangan Perubahan Kedua UUD 1945, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) mengusulkan perubahan Pasal 29 (1) UUD 1945. Usulan F-PPP itu adalah "Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya."

Tambahan kalimat " dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" ini diambil dari Piagam Jakarta. Rancangan pembukaan UUD 1945 ini disiapkan oleh Tim 9 yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr. A.A Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, H. Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, Wachid Hasyim, dan Mr. Muhammad Yamin.

Saat itu Mr. A.A Maramis, satu-satunya yang non-Muslim, menolak pencantuman kalimat itu karena dianggap diskriminasi. Demi keuntuhan bangsa pada saat awal kemerdekaan dan menjaga toleransi, kalimat itu dihapuskan sehingga bunyi pembukaan seperti UUD 1945 sekarang.

Dalam konteks sekarang perlukah Piagam Jakarta dimasukkan kembali? Beberapa cendekiawan Muslim menilai, pada kondisi sekarang Piagam Jakarta tidak perlu dihidupkan kembali. Apalagi, saat ini terjadi konflikl antaragama di beberapa tempat di Nusantara.

Selain usulan dari F-PDI dan F-PPP, alternatif lain diajukan oleh Fraksi Reformasi, FPDU dan F-PBB. Alternatif ketiga ini adalah adalah "Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi pemeluknya masing-masing." Artinya, mereka yang mengaku beragama, tidak sekadar pengakuan (seperti tertulis di KTP), tetapi menjalankan syariah agamanya.

Alternatif keempat, "Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indsonesia.

Penambahan ayat

Fraksi Kebangkitan Bangsa mengusulkan perubahan Pasal 29 (2) menjadi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut kepercayaan agamanya masing-masing.

Perbedaan alternatif memang terletak pada bagian terakhir Pasal 29 (2) dengan bunyi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk: alternatif 2. beribadat menurut agamanya itu. Alternatif 3, beribadat menururt agamanya dan kepercayaannya itu, serta untuk mendirikan tempat peribadatan masing-masing.

Alternatif keempat, negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, melaksanakan ajaran agamanya dan beribadah menurut kepercayaan agamanya.

Selain dua ayat itu, F-Partai Golkar mengusulkan penambahan ayat baru pasal 29 UUD 1945. Pertama, Negara melindungi penduduk dari penyebaran paham-paham yang bertentangan dengan Ketuhanan yang Maha Esa. Kedua, penyelenggaraan negara tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai, norma-norma, dan hukum agama. Ketiga, negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang diajarkan oleh setiap agama.

Jika masing-masing fraksi ngotot dengan usulannya, bisa-bisa pembahasan pasal 29 UUD 1945 dilakukan dengan voting. Untuk menghindari voting, F-PDIP mengadakan lobi-lobi dengan fraksi lain. Namun tentu saja akan ada tawar menawar. Misalnya, F-PPP tidak jadi mengusulkan Piagam Jakarta, tetapi sebaliknya F-PDI tidak memaksakan untuk memasukkan dasar negara Pancasila dalam Pasal 1 UUD 1945.

Ada baiknya fraksi-fraksi di MPR itu mencontoh tokoh-tokoh pendiri bangsa. Mereka duduk bersama dalam rangka menyelesaikan masalah untuk kepentingan bangsa. Bukan untuk kepentingan fraksinya masing-masing.

Tags: