Golput Bukan Tindakan Pidana
Berita

Golput Bukan Tindakan Pidana

Pasal 308 UU Pemilu bisa menjadi amunisi untuk menjerat pelaku yang memaksa orang untuk golput.

Oleh:
ADY/MYS
Bacaan 2 Menit
Golput Bukan Tindakan Pidana
Hukumonline
Setiap pesta demokrasi digelar, selalu saja ada orang yang tak ikut memilih atau memberikan suara. Faktor penyebabnya bisa beragam. Pada pemilu April 2014 mendatang, potensi warga yang tak menggunakan hak pilih tetap ada. Bisa juga jumlahnya meningkat. Mereka, yang biasa disebut golput (golongan putih), selalu ada di setiap pemilu di negara manapun.

Golput pada dasarnya adalah bentuk lain dari abstain. Abstain adalah mekanisme yang disediakan dalam setiap instrumen pengambilan keputusan dalam demokrasi. Dengan logika berpikir demikian, maka golput tak bisa dipidana.

Tetapi Pasal 308 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD memuat ruang bagi penegak hukum untuk menjerat siapapun yang memaksa orang lain untuk golput. Pasal ini mengancam dengan pidana siapapun yang dengan sengaja menggunakan kekerasan dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara, atau menggagalkan pemungutan suara.

Pandangan yang menyebut tindakan mengajak golput bisa masuk perbuatan pidana kemungkinan merujuk pasal ini. Koordinator Badan pekerja Kontras, Haris Azhar, mengecam pandangan yang menyebut golput bisa dipidana. Memilih atau tidak memilih adalah hak yang dijamin hukum. Dengan kata lain, golput juga dikenal di banyak negara. “Abstain ataupun menentukan pilihan dari yang tersedia merupakan ekspresi partisipasi dalam politik,” ujarnya.

Haris menjelaskan Pasal 28 UUD RI 1945 dan pasal 23 UU HAM menjamin hak tersebut. Dalam dokumen resmi PBB tentang hak dan partisipasi dalam politik menyebut negara pihak, termasuk Indonesia, menjamin hak atas kebebasan berekspresi. Jadi, kalau ada larangan untuk golput, Haris menyebut larangan itu antidemokrasi dan anti rule of law. Pasal 308 UU Pemilu juga harus dibaca jelas karena yang dilarang adalah tindakan pemaksaaan untuk memilih atau tidak. “Pelarangan golput itu merupakan bagian pelanggaran hukum,” tuturnya.

Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsam), Wahyudi Jafar, juga menilai aneh pandangan tentang kriminalisasi golput. Sebab, ada ‘hak politik yang dilindungi, termasuk hak untuk tidak memilih’. Apalagi kalau masyarakat sudah jenuh pada parpol. Ia menunjuk pasal 25 Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Ia juga tak sepakat UU ITE bisa digunakan kepada orang yang mengajak golput melalui media sosial seperti facebook atau twitter. “Itu kan tidak masuk konten yang dilarang dalam UU ITE,” ujarnya kepada hukumonline.  

Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima), Ray Rangkuti, juga punya pandangan senada. Ia mengecam pejabat intelijen, pemerintah, atau Bawaslu yang cenderung menyalahkan orang yang golput. Menurut dia, pasal 308 UU pemilu tak hanya menyasar pemaksaan untuk memilih atau tidak memilih. Penyelenggara pemilu yang dengan sengaja membuat warga negara tidak memilih pun bisa dipidana. Karena itu ia meminta pernyataan tentang golput bisa dipidana ditarik kembali. “Kami minta mereka mengkoreksi pernyataan mereka. Pernyataan itu melanggar Undang-Undang,” katanya.
Tags: