Batas Usia Pernikahan Digugat
Utama

Batas Usia Pernikahan Digugat

Batas usia nikah seharusnya dinaikkan. Usia 16 tahun menikah tak sejalan dengan hak untuk tumbuh dan berkembang. Secara medis juga merugikan perempuan.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin mempersoalkan batas usia  perkawinan bagi wanita, yakni 16 tahun, melalui pengujian Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Alasannya, perkawinan anak dengan kehamilan dini di bawah usia 18 tahun berisiko tinggi. Si ibu masih dalam masa pertumbuhan sehingga terjadi perebutan gizi antara si ibu dengan janin.

Pemohon berpandangan norma Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan konstitusi. “Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan UUD 1945 karena menjadi landasan dan dasar hukum dibenarkannya adanya perkawinan anak dalam hal ini anak perempuan yang belum mencapai 18 tahun,” kata kuasa hukum pemohon, Tubagus Haryo Karbyanto dalam sidang pemeriksaan pendahluan yang diketuai Ahmad Fadlil Sumadi di ruang sidang MK, Kamis (03/4).

Pasal 7 UU Perkawinan menyebutkan perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Pemohon ingin batas usia perkawinan dinaikkan.

Berdasarkan catatan hukumonline, dukungan menaikkan batas usia perkawinan anak perempuan datang dari Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Agil Siradj dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Jika dinaikkan, hak untuk tumbuh dan berkembang bagi anak menjadi terpenuhi.

Tubagus menilai ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan tidak sesuai dengan undang-undang lain yang menyebutkan usia kedewasaan jika sudah mencapai 18 tahun. Misalnya, Pasal 26 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mewajibkan orang tua mencegah terjadinya perkawinan usia anak sampai usia 18 tahun. Pasal 131 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebut upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak dalam kandungan, dilahirkan hingga usia 18 tahun.

Ironisnya, UU Perkawinan justru punya semangat berbeda. “UU Perkawinan melegalkan ‘perkawinan anak’ karena dibolehkan menikah di usia 16 tahun bagi perempuan. Konsekwensinya, banyak dampak (buruk) bagi perkawinan anak itu,” kata Tubagus.

Dia mengungkapkan banyaknya perkawinan anak berbanding lurus dengan tingginya angka perceraian, sehingga jauh dari tujuan perkawinan itu sendiri. Perkawinan anak mengakibatkan putus sekolah karena harus menghidupi keluarga. Di usia 16 tahun anak belum mampu berperan sebagai orang tua yang harus bertanggung jawab mendidik anak, secara psikologis anak masih ingin bermain bersama teman sebaya.

“Pembenaran praktik perkawinan anak khususnya bagi perempuan menunjukkan adanya ancaman terhadap pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi anak,” lanjutnya.  

Karenanya, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Batu ujinya adalah Pasal 28A, Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2); Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.

Pemohon juga meminta agar MK mengubah Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan sepanjang mengenai frasa ‘16 (enam belas) tahun’ yang berada dalam norma hukum ‘pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun’ menjadi frasa “18 (delapan belas) tahun”. Sehingga, bunyi Pasal 7 ayat (1) menjadi, ‘Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun’.

Anggota Panel Hakim, Anwar Usman menilai dari segi format permohonan sudah cukup baik. Namun, dia menyarankan agar pasal-pasal UUD 1945 yang menjadi batu uji dalam petitum dimasukkan dalam posita permohonan saja. Dia juga meminta pemohon memperbaiki petitum permohonan dengan menyatakan konstitusional bersyarat.  

“Alasan permohonan, khususnya frasa 16 tahun ini tidak sesuai dengan UU lain terkait batasan usia dewasa ini. Apakah batasan usia dewasa itu sama dengan pengertian dewasa 16 tahun dalam UU Perkawinan yang membolehkan perkawinan. Ini supaya dielaborasi lebih lanjut,” kata Usman.

Dia juga menpertanyakan apakah ada hasil penelitian bagi wanita yang melahirkan atau hamil di usia 16 tahun itu beresiko tinggi? “Tentu ini bisa memperkuat alasan permohonan, kalau itu ada lampirkan datanya,” katanya.

“Letak Kerugian konstitusional pemohon juga perlu diuraikan, kalau pasal itu tetap diberlakukan kerugiannya dimana? Kalau ini pasal itu diubah tidak lagi merugikan pemohon. Ini mesti dijelaskan!”

Hakim Maria Farida Indrati mengkritik permohonan yang belum menguraikan pertentangan norma yang diuji dengan UUD 1945 khususnya yang menyangkut frasa 16 tahun. “Yang diuraikan pertentangan antar UU yang menimbulkan ketidakpastian hukum, belum menyinggung hak konstitusional. Seharusnya, elaborasi kembali dengan memberi penekanan UU lain dengan formulasinya UUD 1945,” saran Maria.

“Saudara harus meyakinkan kami bahwa ini bertentangan. Ini masih kosong. Ada sih terisi soal dari penelitian, tetapi belum menjelaskan secara keseluruhan. Argumentasi Anda lebih kental soal kasus konkrit, bukan konstitusionalitas,” kritik Fadlil.
Tags:

Berita Terkait