Dua Profesor Hukum Pidana Beda Pandangan Soal Dewan Pengawas KPK
Berita

Dua Profesor Hukum Pidana Beda Pandangan Soal Dewan Pengawas KPK

Karena akan menambah beban anggaran negara, termasuk pengadaan kantor baru dan memperpanjang birokrasi. Dalam RUU KUHAP sudah terdapat hakim pemeriksa pendahuluan.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Dua pakar pidana, Profesor Andi Hamzah dan Profesor Romli Atmasasmita, saat memberikan masukan terkait Revisi UU KPK. Foto: RFQ
Dua pakar pidana, Profesor Andi Hamzah dan Profesor Romli Atmasasmita, saat memberikan masukan terkait Revisi UU KPK. Foto: RFQ
Keberadaan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang melakukan pengawasan menjadi sorotan dua profesor hukum pidana. Satu sisi, Dewan Pengawas diperlukan agar KPK, misalnya dalam melakukan penyadapan, mesti mendapatkan izin dari Dewan Pengawas. Di sisi lain, bila merujuk draf Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, penyadapan mesti mengantongi izin dari pengadilan.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Profesor Andi Hamzah, mengaku kaget ketika menerima draf RUU KPK. Ia menilai terlampau sedikit pasal yang akan direvisi bila hanya bersandar pada 4 persoalan, yaitu kewenangan penyadapan, pengangkatan penyidik independen, kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan Dewan Pengawas.

“Kalau cuma sedikit (yang direvisi, -red), mending tidak usah. Pemerintah terlalu takut. Banyak hal yang perlu diluruskan,” ujarnya saat melakukan rapat dengar pendapat dengan Badan Legislasi (Baleg) di Gedung DPR, Selasa (9/2).

Misalnya, keberadaan Dewan Pengawas. Menurut Andi, KPK tidak memerlukan adanya Dewan Pengawas. Pasalnya, dengan adanya lembaga baru bakal menambah panjang birokrasi. Selain itu, bakal menambah anggaran negara di saat pemerintah sedang melakukan penghematan penggunaan anggaran. Hal lain, perlunya pengadaan fasilitas kantor baru.

Mantan jaksa era 50-an itu berpandangan sejatinya pihak yang melakukan pengawasan terhadap KPK adalah DPR dan presiden. Nah, dua lembaga itulah sejatinya yang lebih berwenang melakukan pengawasan. KPK pun tiap di ujung akhir tahun mesti memberikan laporan kepada parlemen dan presiden sebagai bentuk pertanggungjawaban. “Kalau menurut saya, tidak perlu ada dewan pengawas,” imbuhnya.

Lebih jauh, anggota tim perumus Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) itu berpandangan penyadapan, penanganan, penggeledahan dan penyitaan dapat diawasi oleh hakim pemeriksa pendahuluan sebagaimana tertuang dalam RKUHAP. Makanya ia mendorong agar Komisi III segera dapat membahas RKUHP agar RUU KPK dapat diselaraskan.

“Tidak perlu (Dewan Pengawas, red) karena di RUU KUHAP sudah ada hakim pemeriksa pendahuluan yang memfilter kewenangan penyidikan. Jadi belum perlu dewan pengawas. Kalau ada, siapa yang mengawasi Dewan Pengawas,” tandasnya.

Di tempat yang sama, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Profesor Romli Atmasasmita berpandangan keberadaan Dewan Pengawas mesti dituangkan dalam RUU KPK. Romli pun sudah menyodorkan draf RUU KPK versi miliknya. Menurutnya Dewan Pengawas menjadi media pengawasan agar penyadapan dilakukan dapat terkontrol. Misalnya penyadapan mesti mengantongi izin dari Dewan Pengawas selain komisoner KPK.

Ia menilai terkait anggaran  dalam memenuhi kebutuhan Dewan Pengawaw bukan menjadi persoalan. Termasuk persoalan birokrasi dapat disiasati. Menurutnya pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pers tak lagi dapat diharapkan. Apalagi LSM pun dipandang bukan tidak mungkin memiliki kepentingan. “Jadi saya setuju dengan adanya Dewan Pengawas. Jadi presiden dapat mendengar langsung dari Dewan Pengawas. Jadi terpaksa ada Dewan Pengawas,” katanya.

Keberadaan Dewan Pengawas pun tak luput dari kaitan SP3. Menurutnya SP3 tidak diperlukan KPK sepanjang mekanisme pengawasan yang dilakukan Dewan Pengawas nantinya dapat berjalan maksimal. Misalnya, terhadap tindakan penyidikan dan penetapan tersangka seseorang di KPK melalui pengawasan Dewan Pengawas, penyidik sudah memiliki alat bukti dan bukti permulaan yang cukup dan kuat.

Dengan begitu penyidikan dapat berjalan cepat tanpa berlarut-larut. Usulan SP3 disebabkan penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK acapkali berjalan lama. Akibatnya, nasib status hukum seseorang tersangka seolah digantung yang berakibat melanggar hak asasi manusia.

“Sepanjang ada Dewan Pengawas yang diberikan kewenangan, saya yakin KPK tidak perlu SP3 sepanjang ada Dewan Pengawas yang kuat mengawasi,” ujarnya.

Mantan Direktorat Jenderal (Dirjen) Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM itu posisi Dewan Pengawas diangkat oleh presiden memang dapat menjadi alat kekuasaan eksekutif. Romli pun mengakui adanya kekhawatiran KPK melalui Dewan Pengawas dapat dicampuri kepentingan eksekutif. Akibatnya, KPK tak lagi independen. Namun perlu dipikirkan rumusan pengangkatan dan siapa orang yang berhak duduk di Dewan Pengawas.

“Tapi Dewan Pengawas penting untuk melakukan check and balance,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait