Prof. M. Arief Amrullah Bicara tentang Korban Kejahatan Korporasi
Berita

Prof. M. Arief Amrullah Bicara tentang Korban Kejahatan Korporasi

Punya pengalaman penerbangan tak mengenakkan gara-gara kabut asap, M. Arief Amrullah semakin tersadar betapa pentingnya memerhatikan korban dalam setiap kejahatan korporasi.

Oleh:
RIA/MYS
Bacaan 2 Menit
Prof. M. Arief Amrullah. Foto: RIA
Prof. M. Arief Amrullah. Foto: RIA
Kejahatan korporasi pada umumnya berdampak massal, bukan hanya satu dua orang. Kejahatan lingkungan berupa pembakaran hutan, misalnya, berdampak buruk pada ratusan ribu bahkan mungkin jutaan orang. Ironisnya, lembaga-lembaga penegak hukum yang diharapkan berbuat banyak menghentikan perusakan lingkungan hidup seolah tak bisa berbuat banyak. Korporasi masih jarang disasar, pelaku individual banyak yang bebas. “Malah yang yang bilang membakar hutan tak apa-apa karena masih bisa ditanam lagi,” Arief geram.

Kegeraman Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Jember itu bukan tanpa alasan. Ia punya pengalaman buruk saat melakukan perjalanan menuju salah satu bandara di Sumatera. Ia sudah ditunggu koleganya di sana. Pesawat Garuda yang membawa Arief sebenarnya sudah mengudara. Tetapi pesawat terpaksa kembali ke Jakarta gara-gara asap. Begitu kembali ke Soekarno Hatta, Arief meminta maaf kepada koleganya karena tak bisa tepat waktu datang.

Kisah tentang kegagalan pesawat mendarat hanya satu hal. Gara-gara asap kebakaran hutan di Sumatera, sudah tak terhingga kerugian yang diderita. Manusia terpapar asap paling rentan kena penyakit, hutan yang sudah terbakar susah dikembalikan seperti habitat semula. Korbannya tak hanya manusia. Bisnis penerbangan juga ikut merugi. Daftar korbannya bisa banyak, dan inilah yang membuat Arief mengajak banyak orang untuk berpikir tentang betapa pentingnya memerhatikan nasib korban kejahatan korporasi.

Saat menjadi pembicara pada Simposium Nasional dan Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi III di Banjarmasin, Profesor Arief Amrullah kembali menyinggung pertanggungjawaban korporasi terhadap korban. Perundang-undangan seharusnya mengatur agar setiap korban kejahatan dapat menuntut ganti rugi yang ia rasakan, dan Pemerintah menyediakan sarana bagi masyarakat menuntut haknya. “Sudah seharusnya Indonesia bisa melindungi korban dari kejahatan yang dilakukan korporasi,” ujarnya.

Perhatian Prof. Arief Amrullah pada korban bukan sesuatu yang mengherankan. Penelitian doktoralnya adalah ‘Politik Hukum Pidana dalam Rangka Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan (2002).

Kepada hukumonline yang mewawancarainya usai acara, di Banjarmasin, Rabu (18/5), Prof. Arief Amrullah menegaskan kembali pertanggungjawaban korporasi terhadap korban. Ia juga menggugah advokat untuk peduli pada korban karena advokatlah yang bisa langsung mendamping warga korban kejahatan lingkungan yang dilakukan korporasi. Berikut petikannya:

Menurut Anda, apa problem utama pertanggungjawaban korporasi terhadap korban?
Dalam perkembangannya muncul aliran modern di mana di antaranya hukum pidana sudah berorientasi kepada pelaku; orang yang tidak bersalah tidak boleh dihukum, lalu ada remisi bagi pelaku. Lalu, dari sisi korban, bagaimana perhatian hukum pidana kepada korban? Sebenarnya banyak undang-undang kita yang sudah mengatur itu (perhatian pada korban—red). Ada perlindungan yang diberikan terhadap korban. Tetapi memang harus dilihat secara teliti substansinya. Masih banyak aturan yang belum menyentuh, yang benar-benar merinci bagaimana sih pertanggungjawaban pelaku terhadap korban, termasuk tanggung jawab korporasi.

Seperti halnya Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Saat ramai asap karena kebakaran hutan tahun lalu, saya bisa bilang kalau saya juga korban waktu itu. Saya ada tugas dari Dirjen Dikti untuk monev (monitoring dan evaluasi, red) ke Sumatera. Mereka sudah siap menyambut saya, tetapi pesawat kan tidak ada. Tidak jadi mendarat. Nah saya jadi korban. Tetapi karena itu kan adanya di luar (daerah asap), jadi seolah-olah saya bukan korban nih. Padahal sebenarnya saya juga korban, maskapai yang membawa saya juga korban.

Artinya, pengertian korban sangat luas? Bukan hanya mereka yang langsung berhadapan dengan dampak kejahatan itu?
Iya. (Termasuk mereka yang) merasakan akibat. Coba itu kalau dituntut, ada berapa orang yang hubungan bisnisnya, peluang bisnisnya, menjadi hilang karena kejadian kebakaran hutan.

Opportunity lostharus dihitung juga?
Iya. Itu kan tidak ter-cover di dalam undang-undang. Contoh saat saya terbang. Besoknya (maskapai) Garuda tadi harus menerbangkan orang yang sama. Terus avturnya bagaimana? Rugi dia. Belum lagi, apakah saya sebagai penumpang sudah bisa tenang? Tidak tenang. Saya cemas pasti, apakah besok bisa terbang atau tidak. Ditambah juga saya harus nambah biaya hotel. Nah undang-undang belum meng-cover sampai ke situ. Tanggung jawab restitusi selama ini begini, “oh ada korban, tak kasih sudah ini pemulihan. Dihitung berapa kerugian, berapa biaya pengobatan.” Tidak cukup begitu saja. Seharusnya kan menjangkau ke korban di luar, mereka yang juga merasakan dampak tidak langsung. Tetapi belum sampai itu. Belum lagi sanksi-sanksi kepada yang lainnya juga.

Kenapa bisa begitu sulit? Karena sistem kita. Sumbangan-sumbangan dalam pemilu begitu deras (dari korporasi). Maka ketika wakil-wakil itu jadi nantinya, aturan yang ada ya dipesan dari para pemberi sumbangan. Kembali lagi dong kepada kepentingan penyumbang. Nah itu problem kita juga.

Tapi saya kira problem ini tidak hanya di negara berkembang seperti di Indonesia saja, tetapi juga di Amerika. Hanya saja kan di negara maju, mereka itu kan sudah settled. Jadi meskipun itu ada sumbangan dalam pemilu, hal-hal serupa yang dapat menguntungkan pemberi sumbangan bisa ditekan sedemikian rupa. Kalau kita masih sulit untuk itu.

Tentang hak korban, hukum Indonesia kan sudah memungkinkan korban menggunakan class action, citizen law suit untuk menuntut. Apa masih kurang?
Nah itu yang berbeda di Amerika dengan Indonesia. Mengapa saya katakan demikian? Karena persepsi korporasinya bukan pelaku kejahatan. Jadi mereka seakan-akan menganggap, “oh itu tanah longsor adalah bencana alam, kebakaran hutan kan bencana alam.” Mereka tidak tahu siapa yang benar-benar menyebabkan hal tersebut.

Misalnya Anda membeli produk karena iklan bilang begini begitu. Padahal ternyata tidak benar. Anda sudah menjadi korban. Tetapi tidak ada laporan. Lantaran tidak ada laporan, maka seolah-olah di Indonesia tidak ada korban iklan. Bisa jadi karena mengurusnya yang susah, orang jadi malas. Kalau di Australia itu ada mekanisme small claim court. Gugatan sederhana. Pemerintah tidak menyediakan sarana serupa. Logikanya rugi berapa sih beli bedak, misalnya? Katakanlah lima puluh ribu (rupiah), lalu mau dia bawa ke pengadilan. Biayanya lebih tinggi. Kan tidak mungkin. Nah harusnya disediakan small claim court yang menangani korban-korban iklan dari perusahaan itu di Indonesia.

(M. Arief Amrullah dilahirkan di Kotabaru 1 Januari 1960. Dua tahun setelah lulus dari Hukum Pidana Universitas Jember, Jawa Timur, ia mengabdikan diri sebagai pengajar di almamaternya. Ia kemudian menempuh pendidikan lanjutan S2 ke Universitas Diponegoro, dan menyelesaikan studi doktoral di Universitas Airlangga Surabaya. Prof. Arief percaya Pemerintah mengalami kesulitan untuk mengatur dan mengontrol korporasi transnasional.

Mengapa? Perusahaan semacam ini mampu membayar dan menyediakan penasihat hukum yang mumpuni sehingga mampu menentukan apa yang harus dilakukan untuk menghindari kebijakan merugikan yang tengah dijalankan negara tempat berinvestasi. “Korporasi transnasional juga dapat atau mampu memainkan hukum suatu negara dengan tujuan untuk mengurangi kontrol yang dilakukan oleh negara,” tulis Prof. Arief dalam makalah yang ia presentasikan di Banjarmasin).  

Kan Mahkamah Agung sudah mengeluarkan Perma No. 2 Tahun 2015tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana?
Itu kan Peraturan Mahkamah Agung. Harusnya dikuatkan. Pengadilan itu kan harusnya diatur dalam bentuk undang-undang. Jadi small claim court itu menangani yang khusus itu tadi. Sederhana.

Selanjutnya bagaimana kalau lewat jalur class action? Begini, contoh ya di Amerika itu ada sebuah perusahaan yang memproduksi silikon. Silikon ini ternyata belum lulus uji standar, tetapi sudah dipasarkan. Wanita di Amerika itu begitu bermimpi menjadi cantik dengan memperbesar payudara. Sayangnya, janji cantik itu menjadi mimpi buruk.

Timbul gejala berupa gatal-gatal dan jadi koreng setelah mereka menggunakan produksi tersebut, sehingga akhirnya dipotong payudara mereka. Hal ini terjadi pada sekitar 500 wanita Amerika lain. Akhirnya dibawalah perkara itu ke American Bar Association (organisasi advokat Amerika, red). Mereka gugat perusahaan itu sama-sama.

Anda ingin mengatakan peran organisasi advokat juga besar untuk mendorong korban memperjuangkan hak-hak mereka?
Sangat besar. Nah kita bagaimana PERADI ini? Seharusnya kan bisa seperti itu. Saya kira banyak korban yang sama sekali tidak bisa menuntut dan mendapatkan haknya dalam kasus-kasus kejahatan korporasi. Itu yang harus didorong oleh organisasi advokat. Itu kalau advokat benar-benar (ada) di hati masyarakat. Advokat itu kan profesi luhur. Kalau ada kejadian begitu, dibayar atau tidak dibayar ya mereka harus maju membela.
Tags:

Berita Terkait