4 Permasalahan Krusial dalam Pelaksanaan UU Penyiaran
Berita

4 Permasalahan Krusial dalam Pelaksanaan UU Penyiaran

Ketidakefektifan UU Penyiaran selama ini terjadi karena peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan pemerintah di masa lalu buruk.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Media Briefing LBH Pers dengan tema Putar Balik Sistem Penyiaran Indonesia,  Jumat (10/6). Foto: Twitter @lbh_pers
Media Briefing LBH Pers dengan tema Putar Balik Sistem Penyiaran Indonesia, Jumat (10/6). Foto: Twitter @lbh_pers
Sudah lebih dari 10 tahun sejak UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dikeluarkan, namun masih menyimpan permasalahan. Baik permasalahan yang sudah ada sebelum UU tersebut disahkan, maupun persoalan baru yang muncul pasca UU Penyiaran. Padahal, sejak UU tersebut disahkan, publik berharap sistem penyiaran di Indonesia akan menuju arah yang lebih baik.

Direktur Eksekutif LBH Pers, Nawawi Bahrudin mencatat ada empat permasalahan krusial UU Penyiaran setelah belasan tahun disahkan. Pertama, semakin mengguritanya bisnis konglomerasi media yang hanya dimiliiki oleh segelintir orang. Hal ini menyebabkan tersendatnya cita-cita demokratisasi penyiaran.

Kedua, lemahnya kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang hanya memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif. “Tayangan yang penuh kekerasan, eksploitasi tubuh perempuan dan tayangan tidak mendidik dan mencederai akal sehat publik, bisa terus tayang karena fungsi KPI sebagai regulator penyiaran tidak maksimal,” kata Nawawi di Jakarta, Jumat (10/6).

Ketiga, tidak terlaksananya sistem stasiun jaringan. Demokratisasi penyiaran berarti sebuah antonim dari kata sentralisasi penyiaran. Faktanya, menurut Nawawi, tayangan televisi hanya berkutat pada permasalahan di Ibukota Jakarta saja. Dan keempat, hak informasi masyarakat di luar DKI Jakarta menjadi terabaikan.

Perbaikan atas UU Penyiaran pun telah lama digaungkan. Draft revisi pun sudah diserahkan kepada DPR untuk segera dibahas. Namun tak ada keberlanjutan pembahasan dari DPR. Hingga pada Februari 2016 lalu, draft revisi UU Penyiaran muncul dengan versi terbaru dari DPR.

Dalam draft RUU Penyiaran versi DPR, ternyata terdapat beberapa kecatatan. Nawawi  mencatat, setidaknya ada lima kesalahan fatal dalam draft versi DPR. Pertama, hilangnya pasal pembatasan atas kepemilikan perusahaan media. Kedua, karya jurnalistik akan menjadi target sensor. Ketiga, meningkatnya alokasi waktu iklan komersial dan menurunnya alokasi waktu untuk iklan layanan masyarakat. Keempat, Dewan Pers tidak diikutsertakan dalam penyelesaian sengketa jurnalistik. Kelima, hilangnya pasal tentang pemidanaan.

“Dan kesimpulan sementara kami, RUU ini sangat berpihak kepada pemodal bukan publik,” jelas Nawawi.

Selain permasalahan tersebut, Nawawi mengingatkan hal penting yang harus dikawal oleh publik yakni proses pemilihan anggota KPI dan perpanjangan izin siaran 10 lembaga penyiaran swasta. Hal ini, lanjutnya, sangat rentan terjadi ‘dagang politik’ ketika pembahasan RUU dan pemilihan anggota KPI di DPR dilakukan dalam waktu yang sama.

“Maka penting bagi kami untuk mengingatkan pada semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam pembahasan RUU Penyiaran agar tidak mendegradasi sistem penyiaran yang sudah dibangun atas dasar demokrasi,” ujarnya.

Sementara itu dari Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) Ade Armando menyatakan jika ada perubahan UU Penyiaran,  isinya seharusnya dirancang untuk menyempurnakan amanat demokratisasi  yang sudah ada dalam UU Penyiaran yang lama sehingga menjadi lebih definitif dan tegas.

“Bukan justru dirancang untuk meninggalkan amanat demokratisasi tersebut. Bila perubahan UU Penyiaran justru dirancang untuk melayani kepentingan pemodal besar, sebaiknya tidak perlu ada perubahan UU,” kata Ade.

Ade melanjutkan, ketidakefektifan UU Penyiaran selama ini terjadi karena peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan pemerintah di masa lalu buruk. Untuk itu, pemerintah saat ini harus mengoreksinya dengan melahirkan rangkaian peraturan yang menjalankan amanat  UU, misalnya peraturan tegas tentang kewajiban SSJ.
Tags:

Berita Terkait