Delma Juzar, Lawyer Generasi Pertama Merangkap Aktor Film
Berita

Delma Juzar, Lawyer Generasi Pertama Merangkap Aktor Film

Saat aktif lawyering, Del mumpuni dan dikenal sebagai advokat spesialis perminyakan. Sedangkan menjadi aktor ia lakoni demi memenuhi kebutuhan dan membiayai keluarganya yang tinggal terpisah.

Oleh:
NNP/HAG
Bacaan 2 Menit
Del Juzar (kanan) dalam satu adegan film yang dibintanginya, Darah dan Doa. Foto: Youtube
Del Juzar (kanan) dalam satu adegan film yang dibintanginya, Darah dan Doa. Foto: Youtube
Literatur seputar sejarah dunia advokat nasional masih terbilang minim. Kondisi ini mengakibatkan belum banyak kalangan, khususnya kalangan hukum yang mengetahui bagaimana sepak terjang para 'jawara' advokat generasi pertama. Ambil contoh, Delma Juzar.

Nama itu mungkin terdengar asing bagi para advokat generasi sekarang yang masih aktif menjalani profesi. Padahal, sosok Del Juzar, begitu biasa namanya disingkat, cukup unik. Menjadi advokat generasi pertama, Del Juzar justru relatif lebih dikenal sebagai aktor, khususnya film yang bertemakan perjuangan kemerdekaan.

Untuk mengenal lebih jauh sosok Del Juzar, beberapa waktu lalu, hukumonline berkesempatan melakukan wawancara eksklusif dengan salah seorang keponakannya. Dia adalah Dhira Diantari Juzar. Panjang lebar, Dhira bercerita tentang sang paman baik itu di dunia advokat maupun di dunia layar lebar. Dengan modal paras yang tampan serta kemampuan akting yang andal, Del tercatat menjadi pemeran utama pada tiga film bertema perjuangan yang tayang di era awal kemerdekaan Indonesia. Ketiga film itu antara lain film Darah & Doa (1950), Enam Djam di DJogdja (1951), dan Kafedo (1953).

Seingat Dhira, jauh sebelum bergelut sebagai advokat, sang paman sejak kelas tiga Sekolah Menengah Atas (SMA) memang sudah menekuni dunia akting. Dan yang cukup membanggakan, ternyata film Darah & Doa tercatat sebagai film pertama yang diproduksi sepenuhnya oleh orang Indonesia. Bahkan, hari pengambilan gambar pertama film itu, yakni pada 30 Maret 1950 sekaligus diperingati sebagai Hari Film Nasional.

“Jadi keluarga di Medan (awalnya di Padang lalu hijrah karena Belanda saat itu masuk ke Padang), dia di Jakarta sendiri. Pak Del merupakan anak paling tua dari lima bersaudara. Dia main film sebelum kuliah untuk membiayai kuliah dan juga ngirim ke ibu dan adik-adiknya,” ujar Dhira yang merupakan ponakan dari Del Juzar sekira akhir tahun 2015 lalu.

Baru sekitar tahun 1951, Del masuk ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Selama belajar sebagai mahasiswa hukum, Del tetap menyempatkan untuk bermain setidaknya pada dua judul film. Akhirnya, empat tahun berselang Del lulus dan mendapat gelar sarjana hukum. Usai lulus dari fakultas hukum, ia justru tak langsung meniti karier sebagai seorang advokat. Sebaliknya, ia malah bekerja sebagai advokat perusahaan (kini lebih sering disebut dengan In-house counsel) di salah satu perusahaan asing sejak tahun 1956.

Setidaknya, hampir 15 tahun ia berkantor di PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) pada divisi legal. Kemudian, pada 1970 ia mengakhiri kariernya yang kala itu mencapai puncak tertinggi sebagai General Counsel/ Assistant to the Chairman of the Managing Board. Selama belasan tahun mengabdi sebagai in-house, Del diberi kesempatan menempuh pendidikan di masa kerjanya yang baru sekitar dua tahun. Tahun 1958, ia mendalami ilmu ke Michigan University. Tak terhenti di Michigan, ia juga berkesempatan menambah ilmu dari American Management Association (1968) dan Columbia University (1969).

“Saya tahu dia yang termasuk merancang kontrak-kontrak PSC (Profit Sharing Contract) yang pertama di Indonesia. Tahun 60-an ada peraturan yang mau menasionalisasi perusahaan minyak asing. Nah dari situlah dinegosiasikan kontrak PSC  yang pertama,” kenang Dhira.

Melihat pengalaman panjangnya sebagai in-house di perusahaan asing yang boleh dibilang besar kala itu, Del mulai melirik peluang sebagai seorang advokat. Sebagaimana dikatakan Dhira, Del disebut memiliki peran penting saat menjembatani negosiasi kontrak PSC antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan tempatnya bekerja. Berangkat kisah suksesnya bernegosiasi PSC itulah banyak pihak termasuk sejumlah advokat yang menjuluki sebagai advokat spesialis perminyakan.

Pada tahun 1971, Del akhirnya memberanikan membuka firma hukum dengan nama saat itu Mr. Delma Juzar (Attorney-at-Law/ Legal Counsultant). Sekira 1985, Del akhirnya mulai ber-partner dengan Hoesein Wiriadinata sehingga nama firma hukumnya diubah menjadi Del Juzar & Wiriadinata Law Firm. “Dia purely corporate karena dia memang kuatnya di oil dan dia ikut nego PSC. Jadi lebih kuat companies dia. Litigasi diterima tapi tidak banyak, akhirnya tahun 1985 kita stop litigasi sama sekali,” sebutnya.

Sebagai informasi, tahun-tahun tersebut boleh dibilang sebagai awal-awal kelahiran firma hukum generasi pertama di Indonesia terutama pasca diterbitkannya UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Geliat lahirnya firma hukum di Indonesia semakin intens. Kantor firma hukum Ali Budiarjo Nugroho Reksodiputro (ABNR) tercatat sebagai kantor advokat pertama yang berdiri di Indonesia pada 1967. Dua tahun setelah ABNR terbentuk, kantor Adnan Buyung Nasution & Associates (ABNA) berdiri.

Disusul kemudian kantor Mr. Delma Juzar dan Mochtar Karuwin Komar (MKK) juga muncul sebagai firma hukum generasi pertama. Mengutip tulisan Managing Partner sekaligus founder Assegaf Hamzah & Partners, Ahmad Fikri Assegaf, dari Jurnal Hukum dan Pasar Modal Volume VII (Edisi 10 Juli – Desember 2015) terbitan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) bertajuk “Advokat, Kantor Hukum dan Dinamika Bisnis di Indonesia”, salah satu pemicu munculya sejumlah firma hukum generasi pertama adalah pengaruh AS dalam kebangkitan ekonomi Indonesia yang begitu kuat dimana ditandai dengan masuknya program bantuan dari Ford Foundation.

Selain itu, firma hukum asal AS pun juga mulai merambah tanah air dalam rangka mendampingi para investor dari negeri Paman Sam tersebut. Satu per satu, advokat asing asal AS dan Australia juga mulai hadir untuk bekerja di firma hukum Indonesia. Ini menjadi bukti begitu besarnya pengaruh barat bagi perkembangan firma hukum generasi pertama di Indonesia pasca diterapkannya penentuan biaya hukum dalam dolar AS. 

“Yang saya tahu yang dia ingin lakukan adalah dia bawa lawfirm Australia ke sini tahun 1988. Dia pergi ke Australia memulai kerjasama dengan Australian Legal Group. Karena dia ingin bermitra supaya ada transfer of knowledge. Bulan April dia ke Australia, bulan Agustus meninggal,” paparnya.

Di tengah upayanya memajukan dunia keadvokatan di Indonesia, tepat di usianya ke-59 tahun ia meninggal dunia lantaran penyakit kanker paru-paru yang dideritanya. Meskipun program kerjasama itu diteruskan dan akhirnya berhasil bermitra dengan Australia, sayangnya Del benar-benar belum sempat melihat jalannya kemitraan tersebut. Selain itu, nasib firma hukum Del Juzar & Wiriadinata Law Firm pada akhirnya bertransformasi menjadi Wiriadinata & Widyawan pada tahun 1992. Namun, pada tahun 2005, mereka berpisah dan masing-masing membentuk Widyawan & Partners dan Wiriadinata & Saleh Law Office.

“Beliau sebenarnya yang ingin saya menjadi lawyer karena anak-anaknya tidak ada yang mau jadi lawyer. Saya waktu SMP pernah nyeplos ‘ih kayaknya seru jadi lawyer’. Akhirnya dari SMP udah dibawa meeting dengan klien. Saya duduk dengerin dahulu. Tapi dia ngarahin terus. Dia yang kasih mimpi. Memang saya tidak punya pikiran untuk jadi apapun selain lawyer,” kenangnya lagi.

Anak-anak Del, mulai dari Dinda Esta Juzar, Dadi Santara Juzar, Danakarya Juzar, dan Dafsah Arifah Juzar telah berhasil menjadi sarjana namun tak satupun berkiprah di dunia hukum. Sebagai keponakan yang sangat dekat dan banyak terinspirasi dari sosok Del, akhirnya Dhira meneruskan pesan terakhir sesaat sebelum Del menghembuskan nafas terakhirnya dan berpesan “Pokoknya, kamu harus terusin kantor saya”.

“Jadi waktu saya lulus, langsung ditawarin menjadi advokat. Saya inget akhirnya saya melamarlah ke Pak Hoesein dan diterima. Saya bercita-cita menjadi partner. Tahun 2000, saya menjadi partner. Tapi tahun 2006 saya merasa cukup untuk menetapi janji, akhirnya 2006 saya berhenti menjadi advokat,” pungkasnya.

Tepat pada 17 Mei 2013, nama Del Juzar juga diabadikan sebagai nama area guru besar di lingkungan kampus FHUI yang dipergunakan sebagai tempat guru-guru besar FHUI untuk melakukan kegiatan akademiknya di kampus. Sebagai informasi, adanya Area Guru Besar merupakan sumbangsih dari Dhira dan Indra Aman, selaku kerabat daripada Del Juzar. Dhira dan Indra juga merupakan alumni dari FHUI.
Tags:

Berita Terkait