Buya Syafii dan Seleksi Calon Hakim Agung
Profil

Buya Syafii dan Seleksi Calon Hakim Agung

Pertanyaan-pertanyaan Buya Syafii memberi warna dalam seleksi calon hakim agung. Melihat karakter kebangsaan, kebhinnekaan, demokrasi, dan wawasan kesejahatan kandidat.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Syafii Maarif. Foto: RES
Syafii Maarif. Foto: RES
Sejak lima tahun terakhir, setiap wawancara seleksi calon hakim agung (CHA) kerap melibatkan Panel Ahli yang terdiri dari mantan hakim agung, pakar/negarawan selain pimpinan Komisi Yudisial (KY) sendiri. Tepatnya, pada seleksi CHA periode pertama tahun 2011, Pimpinan KY jilid II mengubah sistem dan metode seleksi CHA dengan melibatkan Panel Ahli, khususnya saat tahapan wawancara terbuka sebagai seleksi tahap akhir.

Misalnya, saat seleksi wawancara CHA Juli 2011, KY mempercayakan beberapa mantan hakim agung dan sejumlah pakar/negarawan: Prof Laica Marzuki, Prof Muladi, Johannes Djohansyah, H. Taufiq, Iskandar Kamil, Prof B. Arief Sidharta, Prof Abdul Muktie Fajar, M. Yahya Harahap, dan Ahmad Syafii Maarif.

Metode ini pun kembali diterapkan KY jilid III pimpinan Aidul Fitriciada Azhari. Sejumlah tokoh dilibatkan dalam Tim Panel seperti mantan hakim agung yaitu H. Parman Soeparman (Pidana), Harifin A. Tumpa (Perdata), Iskandar Kamil (Pidana Militer), H. Ahmad Kamil (Agama), dan Djoko Sarwoko (Tipikor). Ada juga tokoh nasional/negarawan yakni Ahmad Syafii Maarif,  Franz Magnis Suseno, dan Azyumardi Azra. Tiga nama terakhir meski bukan orang hukum, namun kapasitas dan ketokohan mereka sebagai anggota panel di mata publik tak diragukan lagi.

Satu nama Panelis nonhukum yang menjadi ‘langganan’ dalam seleksi wawancara CHA adalah Prof Ahmad Syafii Maarif (81), dikenal sebagai Buya Syafii. Mantan Ketua PP Muhamaddiyah ini telah ikut Panel sejak seleksi CHA 2011 hingga seleksi CHA 2016. Guru bangsa kelahiran 31 Mei 1935 di Sumpur Kudus Sumatera Barat ini dinilai memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi selain dikenal sebagai ulama, ilmuwan, dan pendidik Indonesia.

Secara umum, beberapa aspek penilaian wawancara CHA 2016 ini meliputi: visi, misi, motivasi, komitmen, kebangsaan (kenegarawanan), wawasan kelembagaan peradilan, integritas, kemampuan dasar teori ilmu hukum, kemampuan teknis yudisial. Seleksi wawancara terbuka terhadap 15 nama ini digelar pada Senin hingga Kamis (20-23 Juni) kemarin.

Buya Syafii  mendapat tugas menanyakan materi wawancara dengan topik wawasan kebangsaan. Sedari awal, doktor lulusan Universitas Chicago (1982) ini lebih banyak menanyakan ideologis, sejarah, wawasan kebangsaan kepada CHA. Tak jarang, ia sering menanyakan minat calon terhadap buku-buku yang sering dibaca seolah ingin mengukur kedalaman ilmu sang CHA.

Lalu, apa yang menjadi alasan Syafii Maarif menjadi Panelis dalam wawancara CHA. Seberapa pentingkah wawasan kebangsaan bagi seseorang yang akan mengemban jabatan hakim agung. Ditemui hukumonline di Kantor KY, Selasa (21/6) kemarin, Ahmad Syafii Maarif mengungkapkan alasan dan komitmennya menjadi salah satu Panelis seleksi wawancara CHA. Berikut ini petikan wawancaranya:

Apa fokus pertanyaan yang Anda ajukan dalam wawancara seleksi CHA?
Setiap kali tahap wawancara seleksi CHA, saya diminta untuk mewawancarai materi wawasan kebangsaan oleh KY. Sebab, bagaimanapun seorang hakim agung harus mengerti karakter bangsa ini. Karena itu, dalam setiap wawancara terbuka seleksi CHA digali wawasan kebangsaan dari masing-masing CHA.

Apa yang mendasari pentingnya materi wawasan kebangsaan bagi CHA?
Seorang hakim agung seyogyanya dituntut mengerti karakter bangsa ini, tak hanya sekadar orang-orang yang berkualitas dan berintegritas. Bahkan, dalam batas-batas tertentu, seorang hakim apalagi hakim agung dapat disebut seorang negarawan. Sebab, setiap penyelesaian perkara yang berujung ke MA memiliki muatan dan karakter yang beragam sesuai corak, budaya masyarakat Indonesia. Hakim agung ini bagian dari struktur keindonesian. Jadi, materi ini sangat penting bagi CHA.

Apa yang menjadi alasan Anda sering terlibat menjadi Panelis wawancara CHA?
Baginya, syarat seorang hakim agung tidak hanya memahami ilmu hukum. Namun, seorang hakim agung harus mampu memahami wawasan kebangsaan diantaranya penguatan karakter kebangsaan, bhinneka tunggal ika, demokrasi, termasuk pengetahuan sejarah perjalanan bangsa ini. Misalnya, menyangkut sejarah gerakan kepemudaan yang berujung pada Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Seperti salah satu CHA dari nonkarier, Ibrahim (mantan Komisioner KY) yang dimintai pandangannya soal fenomena kesenjangan sosial yang semakin tajam akibat pertumbuhan ekonomi menurun. Walaupun ini tak ada hubungannya langsung dengan hukum, tetapi persoalan ini berkaitan langsung dengan kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hukum itu sendiri.

Selain itu, seorang CHA, Setyawan Hartono (Wakil Ketua PT Tanjung Karang) mendapat pertanyaan sebuatan nama demokrasi di zaman reformasi yang dianut saat ini. Mengingat sejarah bangsa ini pernah mengalami demokrasi parlementer, demokrasi terpemimpin, demokrasi Pancasila.

Seberapa besar bobot materi wawasan kebangsaan ini bagi kelulusan CHA?
Bobot penilaian materi wawasan kebangsaan ini sebesar 20 persen. Setiap masing-masing CHA tentunya akan diberi penilaian mengenai seberapa besar pengetahuan mereka mengenai wawasan kebangsaan ini. Hasilnya, diserahkan kepada KY yang digabung dengan bobot materi lainnya sebesar 80 persen. Nantinya, total penilaian secara keseluruhan merupakan kewenangan KY yang memutuskan kelulusan CHA sebelum diserahkan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan.

Bagaimana efek selama ini adanya materi wawancara dengan topik wawasan kebangsaan ini bagi CHA?
Seberapa besar efeknya saya tidak mengetahuinya secara pasti karena dirinya tidak lagi memantau perkembangan masing-masing hakim agung yang bersangkutan. Tetapi tentunya, kita berharap pengetahuan setiap hakim agung akan terus bertambah termasuk memahami karakter bangsa ini dengan segala permasalahannya secara komprehensif.

Apa harapan terbesar selama Anda dilibatkan dalam panelis wawancara CHA?
Saya berharap mereka yang terpilih dan sudah terpilih menjadi hakim agung harus tetap mempertahankan integritas, moral, dan komitmennya. Selain itu, para hakim agung ini harus menjadi “petarung” yang tetap menjunjung tinggi independensinya. Jangan sekali-sekali mereka takut terhadap berbagai bentuk intervensi/tekanan baik dari dalam maupun dari luar. “Jangan seperti beberapa kejadian aparatur pengadilan akhir-akhir ini yang tertangkap KPK, ini parah dan memalukan betul!”
Tags:

Berita Terkait