Refleksi Pemikiran Profesor Mahadi
Resensi

Refleksi Pemikiran Profesor Mahadi

Satu lagi buku yang secara khusus mengkaji pemikiran dan pandangan seorang tokoh hukum nasional hadir. Layak dibaca pegiat hukum.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Buku karya OK Saidin yang terbit 2016. Foto: SAT
Buku karya OK Saidin yang terbit 2016. Foto: SAT
Dalam acara peluncuran buku Mr. RS Budhyarto Martoatmodjo di aula Mahkamah Konstitusi, Rabu (27/7) lalu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie menyampaikan otokritik terhadap para akademisi hukum di Indonesia. Para akademisi kita, begitu kata Prof. Jimly, umumnya lebih sering dan senang mengutip pandangan sarjana-sarjana dari negara lain. Seolah-olah mengutip sarjana asing lebih ilmiah dibandingkan mengutip pandangan dan hasil penelitian di dalam negeri.

Padahal, kata Jimly, pandangan tokoh-tokoh hukum di dalam negeri sebenarnya tidak kalah. Dalam masyarakat Indonesia hidup norma dan asas-asas hukum yang layak dijadikan pedoman. Dan begitu banyak hasil penelitian tentang hukum dalam masyarakat Indonesia itu yang masih kontekstual hingga sekarang. Sudah waktunya hukum yang berbasis pada masyarakat nasional Indonesia itu dibawa ke permukaan.

Nun jauh dari Jakarta, persisnya di Medan, seorang akademisi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU), telah mewujudkan harapan Prof. Jimly tersebut. H. OK Saidin, akademisi dimaksud, telah membukukan pemikiran Prof. Mahadi lewat karya “Mencari dan Menjadi Hukum Indonesia, Refleksi Pemikiran Prof. Mahadi” (2016).  

Mahadi adalah seorang ‘pemikir besar’ yang melampaui wilayah Medan, melampaui zamannya, dan mencakup banyak bidang hukum. Ia memang tercatat sebagai Guru Besar di Fakultas Hukum USU. Tetapi sebelum terjun ke kampus, Mahadi bekerja sebagai birokrat di Bangkalan dan sebagai juris.   Sebagai juris karirnya menanjak dari hakim di PN Lampung hingga Ketua Pengadilan Tinggi Medan.

Prof. Mahadi adalah pemikir besar bidang hukum yang ide dan pemikirannya banyak dipakai di tingkat nasional. Bayangkan, ia pernah tercatat sebagai Ketua Tim Rencana Kodifikasi Hukum Perdata Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Pandangan-pandangannya tersebar dalam puluhan, bahkan mungkin ratusan, karya tulis.

Sebagian karya Prof. Mahadi sudah dibukukan seperti ‘Filsafat Hukum Suatu Pengantar’ (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1989), ‘Beberapa Sendi Hukum di Indonesia (Pengantar Ilmu Hukum Indonesia) yang terbit pada 1954,dan ‘Hak Milik Immateril’ (BPHN-Binacipta, 1985). Tetapi sebagian besar karya itu selama bertahun-tahun menumpuk di rumah keluarganya.

OK Saidin, pengajar Fakultas Hukum USU, mencoba menelusuri karya-karya peninggalan Prof. Mahadi tersebut. Dengan ketekunan dan kesungguhan, satu persatu buah pikiran sang Guru Besar dikumpulkan dan dirangkum ke dalam beberapa bidang. Hasilnya? Itulah yang kini hadir di hadapan pembaca. Dalam buku setebal 415 halaman, OK Saidin mencoba menghadirkan kembali kepada pembaca pandangan-pandangan penting Prof. Mahadi meskipun ilmuan dan praktisi hukum berpendidikan model Barat mungkin kurang memberikan tempat bagi pemikiran Prof. Mahadi.

Prof. Mahadi memang seorang ‘seniman hukum’ yang lebih dikenal menggali dan memperkenalkan nilai-nilai hukum adat untuk diangkat menjadi hukum nasional. Lewat tulisan-tulisan dan gagasannya, Prof. Mahadi menekankan pentingnya kembali ke nilai-nilai hukum adat. Ia ‘mencari norma hukum melalui nilai (asas hukum) yang hidup dan tumbuh dalam peradaban masyarakat Indonesia’ (hal. 15).

Ide besar Mahadi tentang hukum adat memang tak lepas dari perjalanan hidupnya. Ia adalah salah seorang murid B. ter Haar, ilmuan Belanda yang banyak meneliti tentang hukum adat Indonesia. Di sekolah Tinggi Hukum Batavia, Mahadi menulis ‘Hukum Adat’ di bawah bimbingan langsung ter Haar.

Buku yang ditulis OK Saidin ini mencoba menyajikan kepada kita tentang Mahadi dan pemikirannya. Ada sembilan bidang yang dianalisis: sistem hukum, orientasi ke hukum adat, strategi pemberdayaan hukum lokal, perlunya studi sejarah, pemberdayaan hukum lokal, penelitian hukum masa kini, model penarikan asas hukum, tanah adat Melayu, dan hak asasi manusia (HAM).

Mencari dan Menjadi Hukum Indonesia,
Refleksi Pemikiran Prof. Mahadi
Penulis Dr. H. OK Saidin, SH., M.Hum.
Kata Pengantar Prof. Dr. Mariam Darus, SH., FCBarb
Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta
Cet-1 2016
Halaman 415 + xxi, termasuk indeks dan riwayat hidup

Tentu saja, bukan hanya kesembilan bidang itu yang menjadi pusat perhatian Prof. Mahadi. Ia beberapa kali menulis tentang kewenangan pengadilan. Salah satunya ‘Wewenang Pengadilan Agama’ dalam majalah Hukum Nasional edisi No. 8 Tahun III, April-Juni 1970. Saat membahas kodifikasi hukum perdata ia juga menyinggung tentang hukum perburuhan, selain lapangan hukum kontrak dan lapangan agraria. Kali lain, Prof. Mahadi juga berbeda pendapat dengan Prof. R. Subekti mengenai keharusan menggunakan pengacara saat mengajukan kasasi.  “Pengacara meminta honorarium, yang relatif masih belum dapat terjangkau oleh rakyat kecil’. ‘Bantuan pengacara yang relatif murah belum dapat diadakan di kota kecil, terutama di luar Jawa/Madura,” begitu Prof. Mahadi memberikan dalil.

Membaca karya OK Saidin ini bukan saja penting dan layak bagi pegiat hukum, tetapi juga bisa menjadi pintu masuk untuk menggali lebih detil pemikiran-pemikiran Prof. Mahadi mengenai berbagai hal. Dari situ, kita bisa menelaah kontekstualisasi pemikirannya dengan hukum saat ini. Penulis juga mencoba melakukan kontekstualisasi itu dengan peristiwa kekinian.

Apa yang dilakukan OK Saidin sebenarnya bukan yang pertama. Studi tentang pemikiran tokoh-tokoh hukum Indonesia sudah mulai muncul di dunia akademik. Salah satunya adalah kajian Antonius Sudirman tentang pemikiran hakim Bismar Siregar, yang kemudian dibukukan menjadi ‘Hati Nurani Hakim dan Putusannya’

Bagi Prof. Mahadi membuat tertib hukum baru tak semudah yang dibayangkan. Jika suatu hukum baru dipaksakan, sangat mungkin terjadi ‘jurang’ antar warga negara Indonesia. Seperti yang pernah ia sampaikan dalam kuliah umum dalam rangka Dies Natalies VI USU, 20 November 1958. “Bahwa tidak mudah menciptakan tertib baru yang sesuai dengan sifat dan kebudayaan nasional, oleh karena, menurut hemat saya, harus dijaga senantiasa oleh pembuat undang-undang, supaya hendaknya jangan dengan sengaja ditimbulkan….cultural lag”.

Selamat membaca…
Tags:

Berita Terkait