Tak Mudah Menyelesaikan Masalah Perbatasan Indonesia, Mengapa?
Utama

Tak Mudah Menyelesaikan Masalah Perbatasan Indonesia, Mengapa?

FIR dapat menimbulkan masalah pada penegakan kedaulatan. Ada waktu 15 tahun untuk memperjuangkannya.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Damos Dumoli Agusman (kiri), Meutia Hafid (tengah), dan Andre Rahadian (kanan) dalam seminar Perbatasan Negara di FH UI Depok, Sabtu (10/9). Foto: MYS
Damos Dumoli Agusman (kiri), Meutia Hafid (tengah), dan Andre Rahadian (kanan) dalam seminar Perbatasan Negara di FH UI Depok, Sabtu (10/9). Foto: MYS
Penyelesaian masalah perbatasan suatu negara dengan negara lain tak semudah membalik telapak tangan. Dalam sejarahnya, seringkali sengketa perbatasan itu diselesaikan melalui perang. Kini, diplomasi dan meja lembaga hukum internasional lebih ditekankan. Namun, tetap saja penyelesaiannya tak mudah.

Masalah title to territory di Sipadan Ligitan dan masalah garis batas di Ambalat dapat dijadikan contoh. Potensi masalah itu kian besar jika suatu negara berbatasan dengan banyak negara sekaligus. Indonesia termasuk salah satu di antaranya. “Semakin teknis, masalah perbatasan semakin kompleks,” kata Meutia Hafid.

Anggota Komisi I DPR itu mengatakan Indonesia memiliki perbatasan yang panjang karena berbatasan dengan banyak negara. Meutia mengapresiasi langkah Pemerintah mengedepankan dialog dan diplomasi dalam menyelesaian masalah. Tetapi masalah perbatasan tak bisa diselesaikan dengan cepat karena sumber daya dan kemampuan untuk menjaga batas yang begitu panjang belum memadai.

“Perbatasan bukan hanya masalah kedaulatan, tetapi juga pintu masuk terorisme dan narkotika,” ujar Meutia saat tampil dalam seminar ‘Menjaga Perbatasan Negara, Menjaga Keutuhan RI’ di kampus Fakultas Hukum UI Depok, Sabtu (10/9). Acara ini digelar dalam rangka Reuni Perak Angkatan 1991 Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Sekretaris Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Damos Dumoli Agusman memberi contoh tentang penyelesaian batas maritim Indonesia dengan negara tetangga. Selalu ada upaya penyelesaian, namun pergerakannya lambat. Yang sudah tuntas adalah batas laut wilayah, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen dengan Papua Nugini. Dengan Timor Leste belum ada batas maritim sama sekali.

Menurut Damos, setidaknya ada lima penyebab sulitnya menuntaskan masalah perbatasan maritim. Pertama, garis batas harus disepakati oleh kedua negara yang berdaulat. Konsekuensinya, kemauan politik kedua negara tetangga sangat menentukan. Bisa jadi suatu negara menganggap perundingan tentang batas wilayah tertentu sangat penting, sebaliknya negara tetangga menganggap sebaliknya. Kemauan politik sangat menentukan maju tidaknya kedua negara ke meja perundingan.

Kedua, soal batas adalah soal kedaulatan. Akibatnya, dua negara tetangga sangat berhati-hati kalau membicarakan batas negara. Apalagi ada prinsip hukum yang ditakuti: sekali batas negara ditetapkan maka tidak dapat lagi diganggu gugat sekalipun langit runtuh. Ini diatur dalam Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional.

Ketiga, sejak UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea), banyak zona maritim baru yang lahir dan berubah. Untuk Indonesia, ditambah lahirnya prinsip ‘garis pangkal lurus kepulauan’. Kelahiran prinsip ini membawa implikasi format ulang wilayah Indonesia yang dicita-citakan dalam Deklarasi Djuanda 1957.

Keempat, faktor politik, politik-ekonomi, ekonomi, atau gabungannya atau semata-mata faktor perundingan. Misalnya, Indonesia dengan Australia masalah Timor Timur –kini Timor Leste. Faktor ekonomi tampak pada kasus laut Natuna, antara Indonesia dan Vietnam.

Kelima, hukum internasional tentang perbatasan maritim, termasuk UNCLOS 1982, belum menyediakan norma baku untuk memandu negara membuat garis batas yang adil dan diterima kedua belak pihak. Selama ini, praktiknya, banyak ditentukan diskresi dari negara-negara berdaulat. Kontrol parlemen di negara bersangkutan juga menentukan.

FIR
Ketua Masyarakat Hukum Udara (MHI) Indonesia, Andre Rahadian, juga menyoroti kedaulatan udara, khususnya Flight Information Region (FIR). Selama ini, Singapura masih memegang kendali atas FIR Indonesia di wilayah Natuna. Sudah bertahun-tahun Indonesia meminta dan mengupayakan agar seluruh wilayah udara Indonesia dikuasai Pemerintah Indonesia. Ironis sekali jika penerbangan Indonesia di atas wilayah Indonesia dikendalikan oleh negara lain.

Jika tak dilakukan, dapat menimbulkan masalah bagi penegakan kedaulatan negara melaksanakan misi. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2009  tentang Penerbangan, Indonesia punya waktu 15 tahun untuk mengambil alih wilayah ruang udara di atas wilayah Indonesia. Andre yakin Indonesia punya sumber daya manusia yang memadai dan infrastruktur yang lengkap untuk mengelola sendiri FIR.

Tinggal bagaimana meyakinkan Internasional Civil Aviation Organization (ICAO) bahwa Indonesia punya kemampuan mengelola. Apalagi, masalah ini berkaitan dengan keselamatan penerbangan di wilayah udara Indonesia. “Indonesia harus menunjukkan kepada ICAO bahwa Indonesia mamu mengelola FIR,” ujar Andre.
Tags:

Berita Terkait