Prof Surya Jaya: PERMA Kejahatan Korporasi Dukung Good Corporate Governance
Menjerat Korporasi Jahat:

Prof Surya Jaya: PERMA Kejahatan Korporasi Dukung Good Corporate Governance

Terpenting, dibutuhkan komitmen dan pemahaman yang sama bagi aparat penegak hukum agar dapat menerapkan PERMA Kejahatan Korporasi ini dengan baik.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Prof Surya Jaya. Foto: RES
Prof Surya Jaya. Foto: RES
Sejak diangkat menjadi Hakim Agung pada 2010 lalu, nama Profesor Surya Jaya cukup dikenal terutama di kalangan dunia peradilan. Hakim Agung kelahiran Pare-Pare 19 Juni 1961 ini dikenal cukup kritis terutama menyikapi isu peradilan di MA. Maklum, selain sebagai Hakim Agung dia tercatat sebagai Guru Besar Hukum Pidana Universitas Hasanuddin, Makassar.

Sebelum diangkat menjadi Hakim Agung, dia juga pernah menjadi Hakim Ad Hoc Tipikor Banding Jakarta sejak 2005. Bermodalkan ilmu dan pengalaman ini, pada Juli 2013 lalu, Hakim Agung Nonkarier ini bersama mantan Komisioner KPK Bambang Widjojanto pernah menjadi narasumber dalam rapat pembahasan permasalahan hukum di kamar pidana MA. Kala itu, topik yang diangkat mengenai “Pemidanaan terhadap Korporasi.”

Salah satu pandangan Surya Jaya di forum ini mendorong adanya aturan (hukum acara) yang bisa menjangkau entitas korporasi. Dia mengutip pendapat ahli hukum dan putusan hooge raad (MA) di Belanda seputar bagaimana negara kincir angin ini mempidanakan korporasi. Putusan yang menjadi rujukan adalah putusan kasus “kawat berduri”, sebuah perusahaan ekspor-impor di Belanda. (Baca Juga : MA Menilai Aturan Pidana Korporasi Belum Jelas)

Dalam putusan ini korporasi turut bertanggung jawab atas perbuatan pengurus. Artinya, apabila pengurus melakukan delik, korporasi turut bertanggung jawab, sehingga yang dipidana adalah pengurus dan korporasi. Dalam perkembangannya, isu pemidanaan kejahatan korporasi terus bergulir seolah menjadi kebutuhan aparat penegak hukum dalam upaya merespon maraknya kasus-kasus kejahatan yang dilakukan korporasi.

Sekira Maret 2016, dirinya ditunjuk oleh Ketua MA menjadi Ketua Tim Kelompok Kerja Penyusunan PERMA Penanganan Kejahatan Korporasi. Tim ini juga melibatkan perwakilan dari instansi terkait yakni KPK, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Kemenkumham. Alhasil, Ketua MA M. Hatta Ali mengesahkan hasil kerja Tim Pokja ini melalui PERMA No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi pada akhir Desember 2016.

Ditemui hukumonline di ruang kerjanya, Selasa (17/1) lalu, pria yang juga berprofesi sebagai dosen di beberapa fakultas hukum ini menceritakan latar belakang, urgensi, dan prinsip-prinsip penting yang diatur PERMA Penanganan Tindak Pidana Kejahatan Korporasi (Kejahatan Korporasi). Berikut ini petikan wawancaranya :

Bagaimana latar berlakang terbitnya PERMA Kejahatan Korporasi?

Ide munculnya pedoman penanganan kejahatan korporasi ini datang dari Yunus Husein dari Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) sekitar 3 tahun lalu. Tak lama kemudian, UKP4 mengundang dan meminta masukan seorang pakar hukum Belanda Nico Keijzer dan beberapa ahli. Setelah UKP4 dibubarkan, ide pembahasan ini tidak jalan.

Dalam perjalanannya, Yunus Husein (UKP4) kembali menginisiasi perlunya pedoman penanganan kejahatan korporasi ini dengan melibatkan beberapa lembaga penegak hukum. Isu ini terus bergulir hingga beberapa pimpinan lembaga diantaranya Jampidsus Arminsyah dan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mendukung penyusunan pedoman penanganan kejahatan korporasi ini. (Baca Juga : Pidana Korporasi Butuh Hukum Acara). 

Sejak Maret 2016, MA membentuk Pokja untuk menyusun PERMA Penanganan Kejahatan Korporasi. Penyusunan PERMA ini melibatkan perwakilan sejumlah lembaga yakni KPK, Kejagung, Kepolisian, OJK, instansi terkait, dan ahli. Pihaknya, beberapa kali menggelar pertemuan bersama perwakilan beberapa instansi tersebut untuk menyampaikan segala permasalahan pemeriksaan korporasi terutama dalam proses penyidikan dan penuntutan. Setelah 8 bulan dibahas, akhirnya PERMA ini disahkan pada akhir Desember 2016 setelah melalui pembahasan yang cukup alot. (Baca Juga : Ketua MA : Kejahatan Korporasi Tidak Bisa Dijatuhi Pidana Badan)

Bisa diceritakan urgensi terbitnya PERMA Kejahatan Korporasi ini?

Selama ini aparat penegak hukum kesulitan menindak kejahatan korporasi. Padahal, ada lebih dari 70-an UU tertentu sudah menetapkan pertanggungjawaban pidana korporasi. Saat pembahasan PERMA ini, semua persoalan mengerucut pada perlunya tata cara pemeriksaaan tindak pidana korporasi karena UU tertentu hanya mengatur sanksi pidananya saja, selebihnya (hukum acara) tidak diatur. 

Lalu, bagaimana aparat penegak hukum menjerat korporasi sebelum berlakunya PERMA ini?

Selama ini ada satu atau dua putusan yang berhasil menghukum korporasi di pengadilan dalam perkara korupsi. Ini mungkin hanya karena keberanian dan wawasan luas aparat penegak hukumnya. Tetapi, putusan perkara tindak pidana pencemaran lingkungan dan kehutanan yang menghukum korporasi jumlahnya lebih banyak daripada perkara lain (korupsi/TPPU).    

Salah satunya, kasus korupsi PT Giri Jaladhi Wana dalam proyek pembangunan Pasar Sentra Antasari yang disidik Kejaksaan Negeri Banjarmasin. PT Giri dihukum membayar denda Rp1,3 miliar dan hukuman tambahan penutupan sementara selama enam bulan. Selain itu, perkara korupsi yang diusut Kejaksaan Negeri Bandung di Pengadilan Tipikor Bandung. Kalau di Pengadilan Tipikor Bandung saya tidak ingat perkaranya.

Apa yang menjadi sebab aparat kesulitan menyeret korporasi di sidang pengadilan?                          

Putusan yang menghukum korporasi ini masih sangat sedikit disebabkan ketidakpahaman aparat dan juga tidak ada hukum acara khusus ketika terdakwanya entitas korporasi. Secara umum, selama ini aparat penegak hukum belum memiliki visi, pemahaman, dan pedoman yang sama dalam upaya menjerat korporasi jahat. Kesulitan utama, sebelum berlakunya PERMA Kejahatan Korporasi ini, ketika aparat penegak hukum hendak memanggil/memeriksa entitas korporasi. Kalau mau memanggil korporasi sebagai benda mati, yang mau dipanggil itu siapa? Karena itu, terbitnya PERMA Kejahatan Korporasi ini diharapkan ke depannya dapat mengatasi segala kendala dan kesulitan aparat penegak hukum dalam upaya menjerat korporasi.  

Hal-hal apa yang diatur dalam PERMA Kejahatan Korporasi ini?

Pertama, proses pemanggilan dan pemeriksaan ini terhadap korporasi (Pasal 9-11). Kedua, syarat dan uraian surat dakwaan ketika terdakwanya korporasi (Pasal 12). Ketiga, ukuran pemisahan pertanggungjawaban kesalahan pidana antara korporasi dan atau pengurusnya termasuk ketika seorang atau lebih pengurus korporasi berhenti atau meninggal dunia tidak mengakibatkan hilangnya pertanggungjawaban (pidana) korporasi (Pasal 4, 5). Ini ukuran pemisahan pertanggungjawaban pidana antara korporasi dan pengurusnya. Seperti apa dan kapan tindakan pengurus bisa sekaligus dipertanggungjawabkan terhadap korporasi. Acuannya, ketika rumusan norma Ketentuan Umum UU tertentu menyebut frasa “Setiap Orang…", itu diartikan dapat mempidanakan perorangan dan korporasi/perusahaan. 

Patut diingat bisa saja pengurus korporasi melakukan tindak pidana hanya menguntungkan kepentingan pribadinya, bukan menguntungkan korporasi. Dalam konteks ini, korporasi tidak bisa dipidanakan. Meski ada teori identifikasi, perbuatan (niat) jahat pengurus otomatis menjadi tanggung jawab korporasi sepanjang ada keterkaitan dan keuntungan korporasi. Ini  bersifat case by case (kasuistis), sehingga dibutuhkan kehati-hatian dan kecermatan aparat penegak hukum untuk menentukan siapa yang sebenarnya paling bertanggung jawab.

Keempat, penyebutan sanksi pidana korporasi yakni pidana pokok berupa pidana denda dan pidana tambahan, seperti uang pengganti, penutupan perusahaan ganti rugi dan restitusi. Korporasi yang terbukti bersalah tak hanya dijatuhi pidana denda, tetapi bisa sekaligus dijatuhi pidana tambahan. Ini tergantung bunyi UU-nya karena ada UU hanya mengatur besaran sanksi dendanya saja. Selama ini sanksi paling ditakuti korporasi yakni pencabutan izin atau penutupan perusahaan.       

Kelima, sistem pembuktian penanganan tindak pidana korporasi ini masih mengacu KUHAP dan UU tertentu yang mengatur khusus soal sistem pembuktian sepanjang belum diatur PERMA ini. Misalnya, PERMA ini menyebut keterangan korporasi merupakan alat bukti sah dalam persidangan. Korporasi ini harus diwakili pengurus atau kuasanya. Jadi, keterangan pengurusnya inilah dianggap sebagai ‘keterangan korporasi’ dan dijadikan alat bukti yang sah.(Baca Juga : Prinsip Penting dalam Penanganan Kejahatan Korporasi)  

Jadi, sebenarnya rasio legis terbitnya PERMA ini dan seperti apa harapan ke depannya?   

Kehadiran PERMA Kejahatan Korporasi ini sebenarnya tidak melulu berorientasi pada penghukuman terhadap korporasi. Justru, terbitnya PERMA ini untuk memberi kepastian dan perlindungan hukum terhadap korporasi yang baik dalam upaya pencegahan. Tentu, kehadiran PERMA ini sekaligus mendukung terciptanya prinsip good corporate governance. Jadi, kalau merasa pengelolaan korporasi itu baik, tidak perlu takut diproses hukum. Ini hanya guidance (pedoman) agar pengelolaan korporasi menjadi lebih baik dan bisa memberi kontribusi besar bagi masyarakat dan negara.

Meski begitu, bagaimanapun terhadap korporasi-korporasi “nakal” ini tetap harus diproses dihukum sepanjang bisa dibuktikan actus reus dan mens rea pengurus korporasinya. Korporasi tidak lagi kebal hukum karena dia subjek hukum yang bisa turut dipertanggungjawabkan apabila dinilai melanggar hukum. Yang terpenting dibutuhkan sikap kehati-hatian, kecermatan, dan kearifan. Sebab, penjatuhan hukuman terhadap korporasi berupa pidana denda hingga penutupan perusahaan berdampak sosial dan ekonomi masyarakat. Sebab, tak jarang sebuah korporasi memberi kontribusi besar bagi masyarakat dan atau negara dari sisi sosial dan ekonomi. (Baca Juga : Disparitas Sanksi Pidana Korporasi di Berbagai UU)   

Apakah Anda optimis berlakunya PERMA ini dapat diterapkan secara efektif?

Optimis, PERMA Kejahatan Korporasi ini dapat diterapkan dalam praktik. Sebab, pengaturan PERMA Kejahatan Korporasi ini sudah cukup baik guna melengkapi peraturan yang sudah ada dalam upaya menindak korporasi jahat. Saya pikir tidak ada kendala menerapkan aturan ini. Terpenting, dibutuhkan komitmen dan pemahaman yang sama bagi aparat penegak hukum. Caranya, melakukan diseminasi atau sosialisasi agar ada pemahaman/persepsi yang sama antar aparat penegak hukum. Kalau komitmen dan pemahaman sudah sama, dipastikan tidak ada kendala dalam menerapkan PERMA Kejahatan Korporasi ini. (Baca Juga : Menakar Efektivitas PERMA Kejahatan Korporasi)   
Tags:

Berita Terkait