Hamdan Zoelva Bicara Seluk Beluk Pengujian Perppu
Mengurai Problematika Perppu:

Hamdan Zoelva Bicara Seluk Beluk Pengujian Perppu

Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 memberi koridor agar tidak terjadi kesewenang-wenangan oleh presiden meski faktanya belum ditaati sepenuhnya oleh presiden.

Oleh:
Aida Mardatillah/RFQ/ASH
Bacaan 2 Menit
Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva saat diwawancarai di Kantornya. Foto: RES
Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva saat diwawancarai di Kantornya. Foto: RES
Mantan Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva merupakan salah hakim yang turut memutus pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Permohonan ini, pertama kalinya produk hukum bernama Perppu diujimaterikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang kemudian melahirkan Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009.

Belakangan, Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yang diajukan sejumlah advokat ini sempat ramai diperbincangkan pasca terbitnya Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Alhasil, terbitnya Perppu Ormas ini menuai polemik yang berujung beberapa elemen masyarakat menggugat ke MK karena dinilai bertentangan putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yang telah memberi 3 syarat untuk menerbitkan Perppu.

Saat ditemui Hukumonline di kantornya, kawasan Gandaria City Jakarta Selatan pada Rabu (16/8/2017) lalu, Mantan Ketua MK periode 2013-2015 ini berbagi cerita mengenai banyak hal yang berhubungan historis dan seluk beluk pengujian Perppu. Pria kelahiran Bima Nusa Tenggara Barat pada 21 Juni 1962 ini, mengakui saat diajukan pengujian Perppu No. 4 Tahun 2009 dirinya belum menjadi hakim konstitusi. Namun, saat pembacaan putusan pengujian permohonan Perppu ini, dirinya turut memutus dan memberi pendapat.

Pandangannya, sama seperti mayoritas hakim konstitusi saat itu yang menyatakan pengujian Perppu merupakan kewenangan MK meski putusannya dinyatakan tidak dapat diterima. “Saat itu, saya termasuk yang berpandangan bahwa Perppu merupakan kewenangan MK. Hanya Hakim Konstitusi Muhammad Alim mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda) dan Hakim Konstitusi Mahfud MD mengajukan concurring opinion (alasan berbeda),” kata Hamdan. Baca Juga: Hamdan Zoelva: Membidani Hingga Memimpin MK

Hamdan menjelaskan Muhammad Alim menyimpulkan MK tak berwenang menguji Perppu. Sementara Mahfud MD saat itu setuju dengan mayoritas hakim, tetapi ia mempunyai alasan yang berbeda dengan kesimpulan sama dengan mayoritas hakim konstitusi (concurring opinion). “Saya ingat betul, panjang sekali waktunya saat membuat putusan Perppu ini. (Saya berpendapat) Perppu memiliki level yang sama dengan UU, sehingga (sejak saat itu Perppu) menjadi objek kewenangan MK,” tuturnya.

Bagi Hamdan kewenangan MK menguji Perppu karena norma Perppu serta merta berlaku yang potensial melanggar konstitusi seperti hal UU meski belum mendapat persetujuan DPR. Sebab, berlakunya Perppu dapat berimplikasi luas, seperti dapat dibatalkan, bisa mengubah UU, dan dapat mencabut UU.

“Perppu sebagai norma seperti halnya UU bisa berimpilkasi melanggar konstitusi, makanya MK berwenang menguji perppu baik sebelum ada persetujuan maupun setelah ada penolakan Perppu oleh DPR,” jelasnya.

Dia mengingatkan putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 melahirkan tiga syarat menerbitkan Perppu bagi presiden yang juga menjadi tolak ukur MK menguji Perppu selain syarat “kegentingan yang memaksa” dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. “Putusan MK ini akhirnya menjadi yurisprudensi positif yang digunakan MK menguji Perppu,” tegas founder Zoelva &  Partners ini.

Seperti diketahui, Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 mengandung tiga syarat menerbitkan Perppu oleh Presiden ketika dalam keadaan kegentingan yang memaksa. Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Baca Juga: MK Nyatakan Perppu Bisa Di-Judicial Review

Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai. Ketiga, adanya kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa. Sebab, bakal memerlukan waktu yang cukup lama (membuat UU), sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

“Harus ada ‘kegentingan memaksa’ yang tidak mungkin dilaksanakan dengan UU biasa, belum ada norma hukumnya, atau norma hukumnya tidak mencukupi. Itu syarat kegentingan memaksa, bukan saja kondisi darurat negara, tetapi juga darurat hukum. Kalau darurat negara, negara dalam keadaan kacau, tapi darurat hukum suatu kebijakan yang harus segera diambil,” terangnya.

Karena itu, pasca putusan itu, MK berwenang menguji Perppu baik secara formil maupun materil. Meski selama ini setiap permohonan pengujian Perppu di MK belum memasuki pokok perkara. Umumnya, kata dia, setiap putusan pengujian Perppu dinyatakan tidak dapat diterima karena kehilangan objek pengujian atau diputus gugur dengan alasan pemohonnya tidak datang.  

“Ketika Perppu lebih dahulu sudah mendapat persetujuan DPR atau ditolak DPR, sehingga objek permohonannya hilang karena posisi Perppu itu menjadi UU kalau disetujui. Tetapi masih bisa diuji dengan permohonan uji materi UU, bukan uji Perppu lagi.”

Perppu mirip UU Darurat
Pria yang kini sibuk dengan kegiatan sosial-keagamaan dan mengajar ini berpandangan pengertian Perppu mirip dengan UU Darurat yang dikeluarkan dalam kondisi darurat negara dan atau darurat hukum (kegentingan yang memaksa). Perppu memerlukan persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya. Sepanjang Perppu belum disahkan DPR maka berlaku sebagai UU. Bedanya, UU Darurat yang digunakan era Presiden Soekarno, dibuat presiden tanpa persetujuan DPR. Artinya, tidak ada konsekuensi UU Darurat itu batal.

Menurutnya, dalam konteks saat ini konsekuensi "kegentingan yang memaksa" dan "negara dalam keadaan bahaya" sesuai Pasal 22 dan Pasal 12 UUD Tahun 1945 sama-sama berakibat terbitnya Perppu. “Kalau Perppu sekarang kan, bisa saja baru tiga tahun ke depan baru disahkan DPR, sehingga bisa saja terjadi resiko hukum. Makanya, kenapa Perppu menjadi kewenangan MK. Ini untuk menghindari otoritarianisme seorang presiden,” tegasnya.  

Secara historis, umumnya UU Darurat memang tidak perlu pengesahan atau persetujuan DPR. Tetapi, akhirnya pada tahun 1969, UU Darurat perlu persetujuan DPR untuk menjadi UU. “Kalau tidak salah, hal ini tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1969. Pada tahun itu pula, semua UU Darurat masa Presiden Soekarno menjadi UU. Nanti bisa dicek, UU nomor berapa, saya lupa,” kata dia.

“Sejak awal berlakunya UUD 1945, sudah ada (normatif) istilah Perppu. Saat itu presiden sudah dapat mengeluarkan Perppu dalam keadaan kegentingan memaksa. Tapi praktiknya belum ada istilah Perppu. Dahulu ada juga istilah PNPS (Penetapan Presiden RI), Prp (PP Pengganti UU) ini juga disebut peraturan pemerintah dalam keadaan mendesak.”

Di era Soekarno, kata Hamdan, hierarki peraturan perundang-undangan yang pertama disebut PNPS dalam UUD 1945 dan kedua Dekrit Presiden dan lain-lain. “Jadi dahulu (produk hukum) Dekrit Presiden lebih tinggi daripada yang lain. Itu zaman Soekarno, Dekrit Presiden menjadi dasar ‘pembabatan’, mengubah dan membuat UU baru,” sebutnya.

Dia melanjutkan saat masa Presiden Soeharto mengeluarkan Perppu perlu lobi-lobi dengan DPR terlebih dahulu agar mudah proses persetujuan atau pengesahannya. “Tapi kalau sekarang tidak, tiba-tiba langsung keluar Perppu baru dapat disetujui atau tidak oleh DPR. Ini yang menimbulkan masalah. Makanya kenapa MK memberi koridor (lewat putusan MK No. 138/PUU-VII/2009) agar tidak terlalu kepentingan politik (yang dikedepankan). Sebab, negara ini, negara hukum,” dalihnya.

Dirinya tak bisa membayangkan ketika penerbitan Perppu tidak dikontrol lembaga kekuasaan kehakiman dalam hal ini MK. Misalnya, DPR mengusulkan pemakzulan presiden lewat persidangan di MK. Lalu, presiden mengeluarkan Perppu MK yang isinya mengubah, mengurangi, atau menghapus kewenangan MK memutus pemakzulan presiden.    

“Ketika MK sedang mengadili presiden untuk di-impeach, tiba-tiba presiden mengeluarkan Perppu mengurangi atau menghapus kewenangan MK, 'habislah' MK. Siapa nanti yang akan menjaga konstitusi?”

Untuk itu, MK memberi koridor melalui putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 itu agar presiden tidak sewenang-wenang. Sebab, Perppu merupakan tindakan otoriter presiden dalam keadaan sementara. Meski putusan itu faktanya tidak ditaati oleh presiden. Selain itu, putusan yang menjadi yurisprudensi ini sekaligus menjadi pedoman bagi MK ketika mengadili pengujian Perppu berikutnya.

“(Makanya) kewenangan MK cukup seperti sekarang saja (tidak perlu revisi UUD 1945 dan UU MK). Sebab, praktik kehidupan konstitusional di negara manapun, bukan semata-mata teks-teks konstitusi. Kalau teks konstitusi sederhana sekali, padahal banyak sekali persoalan yang tidak ditulis dalam teks konstitusi.”  
Tags:

Berita Terkait